Sabtu, 19 Juni 2010

Macul Langit

Kita hidup di perintahkan untuk bekerja. Bekerja apa saja. Bisa bekerja di sawah, di kantor, di penjara, tukang parkir, pasukan kuning, pengasuh bayi, guru, dll. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, menyekolahkan anak.
Dalam bekerja biasanya orang akan menyesuaikan dengan kemampuannya. Dengan latar belakang pertanian biasanya orang akan mencari matapencaharian yang tidak jauh dari dunia pertanian. Begitu juga administrasi perkantoran maka akan berusaha mencari pekerjaan dengan dunia administasi baik di kantor pemerintah, perusahaan dll.
Melihat angka pengangguran yang tinggi dan menurut salah satu deputi Bappenas Ri bahwasanya penyumbang angka pengangguran termasuk adalah pengangguran terdidik. Yakni para lulusan perguruan tinggi dan prosentase terbesar dari alumni fakultas humaniora dan agama. Hal ini bisa menjadi warning. Peringatan ini bisa dijadikan sebagai tantangan, hambatan dan peluang. Memang peluang fakultas tarbiyah sudah overload. Maka pendirian prodi pai khususnya sudah tidak diijinkan lagi. Karena alumninya tidak terserap lapangan kerja. Bagi yang sudah terlanjur perlu membekali soft skill agar bisa survive ketika sudah kembali ke masyarakat.
Saya teringat dengan tulisan Prof Nur Syam yang menceritakan seorang pengusaha muda yang menciptakan mesin penghancur sampah. Sampah yang menjadi barang buangan hasil konsumsi rumah tangga menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Bahkan beberapa waktu lalu Kota Bandung yang dijuluki Kota Kembang tereduksi keberadaannya karena menggununggnya sampah di mana-mana. Berkaitan dengan potensi pengusaha muda ini, awalnya ia pekerja pabrik. Karena tidak mau selama hidupnya menjadi pekerja maka ia keluar. Dan menciptakan mesin penghancur sampah, pengolah plastik olahan dan lainnya. Semula pihak bank, tidak mau membiayai. Namun setelah itu ada jalan keluar. Ada bank yang memberi pinjaman modal. Ia jual hasil rakitannya dan mentraining sendiri pembelinya. Ia berprinsip jangan ada orang yang merasakan seperti dirinya yang susah mencari modal. Akhirnya banyak orang yang menjadi pengusaha baru seperti dirinya dan mengangkat para pemulung.
Macul berasal dari bahasa Jawa. Kalau dalam bahasa Indonesia mencangkul. Mencangkul identik dengan petani. Dan mencangkul sendiri adalah bagian dari profesi. Profesi mencangkul. Orang desa biasanya kalau di tanya tentang pekerjaan biasanya menjawab dengan macul. Hanya saja maculnya beda-beda. Ada di sawah, di kebun, di pabrik, di kantor, di jalan, di laut. Intinya bahwa orang hidup harus macul atau bekerja di manapun yang penting halal untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarga. Disisi lain agar tidak menggantungkan hidup kepada orang lain bahkan orang tua sekalipun. Hal tersebut orang desa sendiri masih mengkategorikan macul sawah. Karena menggunakan kekuatan okol dan akal. Artinya melakukan secara dhohir.
Lha, ada juga istilah lain dengan menggunakan kata macul di sini yakni macul langit. Ini istilah sanepa. Bahasa halus orang Jawa. Mencangkulnya dengan ulah ruhani, dengan ibadah yang dilakukan. Kalau macul di sawah dikerjakan pada siang hari, maka macul langit di malam hari menjelang pagi. Allah telah memberitahukan dalam al-Qur’an agar kita sebagai muslim menyisakan waktu di seperti tiga malam yang akhir sekitar jam dua sampai menjelang subuh untuk melaksanakan sholat malam (sholat taubat, sholat hajat, sholat tahajud, sholat tasbih dan dzikiran). Bila diibaratkan dengan sinyal telepon seluler, pada waktu tersebut sinyal sangat kuat karena para pengguna pada tidur. Maka waktu itu sangat tepat untuk mendekat kepada Allah. Memohon ampunan, mohon perlindungan dan hidayah dalam menjalani kehidupan ini.
Maka menjadi klop, antara usaha dhohir dengan macul sawah di padu dengan usaha batin dengan macul langit di malam hari menjelang subuh. Bila bisa dilakukan dengan istiqomah maka hati ini akan terasa tenang dan optimis dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar