Aisya bilang kalau perempuan mandi menggunakan pakaian basahan. Menurutnya ini adalah dari sunnah nabi dan dipraktekkan orang-orang palestina. Ternyata ini sangat membantu.
Kehidupan fahri yang sangat sederhana. Fahri kecil dilahirkan dari desa terpencil. Orang tuanya petani pas-pasan. Dan bukan dari keluarga berpendidikan yang mempunyai sawah sepetak. Merelakan diri tidak melanjutkan sekolah dan menggarap sawah sedangkan adiknya disuruhnya terus melanjutkan sekolah hingga menjadi seorang pengawas pendidikan. Dan ketika waktu pembagian warisan sawahnya dibagi sama. Subhanallah. Mungkin dari keiklasan bapaknya inilah, fahri bisa mengenyam pendidikan di mesir dan mendapat karunia yang banyak. Oh, ya. Di waktu kecilnya fahri sering diajak ayahnya berjualan tape keliling desa denga dibonceng di belakang sepeda. Ketika selesai menempuh pendidikan dasar lalu melanjutkan di mts dan aliyah dengan menjadi khadam kiainya. Lalu setelah selesai bisa melanjutkan kuliah di mesir dengan menjual satu-satunya harta kekayaan orang tuanya. Yaitu menjual sawah warisan dari kakeknya. Tiba di mesir harus bisa survive tanpa beasiswa. Mungkin ini juga didikan dari pesantren dan barokah dari kiai. Seorang santri bisa survive di tengah himpitan kehidupan dan di segala macam suasana kehidupan. Dan akhirnya bisa menemukan keunggulan pribadinya. Ada yang membuat saya ternyuh dan sangat penasaran dalam membaca novel ini hingga saya lupa jam sudah menunjukkan jam tiga pagi. Begitu sederhananya fahri, halus budi pekertinya, pekerja keras tetapi mempunyai himmah yang tinggi atas cita-citanya. Ketika teringat dengan wajah ibu dan bapaknya di desa terpacu lagi semangatnya untuk meraih cita-cita. Bisa dibayangkan saja sudah tujuh tahun menempuh studi di negeri orang dan belum pernah pulang. Tetapi sangat hormat pada kedua orang tuanya. Hingga dalam memilih pendamping hiduppun harus persetujuan orang tuanya. Dengan melakukan istikharah dan istikharah orang tuanya. Subhanallah.
Bila kemudian dia menemukan isteri yang salehah, cantik dan anak konglomerat mungkin itu sudah menjadi bagiannya karena sudah lama tirakat. Dan itu pas dengan maqamnya. Memang di situ. Memang banyak orang besar karena dari lakonnya sejak kecil. Yang tidak kalah menarik adalah bagaimana dia memanage waktu. Memang Gusti Allah sudah berfirman dalam al-Qur’an bahwa kita tidak berubah nasib kita bila kita sendiri tidak mau merubahnya. Maka hal ini diyakini betul oleh fahri.
Ia bikin jadwal yang rigid. Bagaimana menghormati waktu dengan disiplin dan tidak telat. Seperti perilaku guru mengajinya. Dalam keadaan bagaimanapun tidak pernah telat dalam mengajar. Hal ini dia jaga betul. Bila dia berjanji maka sekuatnya dia tepati janji itu. Karena janji adalah hutang. Kalau ada tugas kuliah yang sangat mendesak dan pekerjaan yang sudah tidak bisa dikompromi lagi maka acara-acara yang bisa di cut ya di cut atau diminta dijadwal ulang. Hal ini meman luar biasa. Lalu mempunyai rencana masa depan yang jelas. Mulai dari harian, mingguan, bulanan, tahunan, jangka menengah hingga sepuluh tahun ke depan. Dan memang menurutnya hidup ini harus sesuai dengan rencana yang dibuat sendiri. Bila tidak ingin berbelok. Dan sebagai pengingatnya maka perlu ditulis dekat meja belajar. Hingga bisa selalu ingat setiap saat.
Sebagai contoh dalam studi magister diselesaikan dalam waktu dua tahun. Lalu empat tahun kemudian sudah selesai doktor. Meraih gelar professor diperkirakan pada tahun kesepuluh dari rencana dengan minimal menyelesaikan 50 buku terjemahan dan 15 karya ilmiah. Lalu kapan menikahnya. Ternya di sela-sela menyusun tesis. Dan dikabulkan. Bahkan yang memimpikannya ada 4 gadis. Padahal dia sangat tidak pede dengan dirinya sendiri. Gadis mana yang mau dengan dirinya. Namun jika Tuhan berkehendak, apapun bisa jadi. Lalu bagaimana rancangan hidup kita? Kita sendiri yang bisa menjawab. Dan mari kita merancang jalan hidup kita biar bisa terarah. Semoga.
Mengenai profil maria. Juga baik bila kita renungkan. mahasiswi cerdas, cantik, penganut kristen koptik yang humanis dan bisa hafal surat maryam dan thaha serta beberapa surat lain. Tidak pernah tersenyum dengan pemuda lain, tidak suka diapeli pemuda lain, dan tertawanyapun hanya tersenyum saja. Begitupun seharusnya yang kita lakukan. Karena Nabi sendiri hanya senyum saja bila ada hal yang lucu. Dari sisi kepribadian, ternyata ini juga menunjukkan wibawa.
Wallahu a’lam bi al shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar