Minggu, 16 Mei 2010

Melihat jati diri dengan menulis

Imam Ghazali berkata,”bila kamu bukan anak raja, maka jadilah penulis”. Menulis bukan untuk mencari popularitas dan finansial. Walaupun kita sadari bahwa keduanya merupakan diantara penyebab kita bisa menjalani hidup ini. Bahkan terkadang menjadi motivasi kita bekerja. Hanya saja dalam menulis, seperti yang disampaikan Lan Fang seorang novelis berbakat bahwa menulis haruslah berkualitas. Dengan gaya penulisan sendiri. Dia menganjurkan bahwa gaya kita dalam menulis tidak usah meniru gaya orang lain dalam menulis, tetapi menulis menurut cara kita sendiri. Sehingga gaya kepenulisan kita mandiri tidak terpengaruh gaya orang lain. Misalnya kalau Pak Imam Suprayogo dalam tulisan hariannya menulis seperti yang ada dalam pikiran. Lalu di tulis saja tanpa di edit. Selesai langsung diposting. Ternyata diterbitkan minimal dua kali dalam sebulan di harian Republika yang bermarkas di Jakarta. Kalau dilihat dari honor sekaliber professor tahun 2005an itu sebesar 750 ribu sampai satu juta sekali terbit. Sekarang berapa, mungkin lebih dari itu. Hanya saja beliau tidak mengambil uang itu. Memang kwitansinya ditandatangani namun uang itu minta diserahkan kepada pengelola madrasah di sekitar Jakarta. Kalau melihat seperti gaya kepenulisan Pak Imam seperti itu saja diakui, maka kita bisa belajar dan meniru gaya beliau dalam menulis atau kalau mungkin kita bisa menulis dengan gaya kita sendiri.
Kemudian bila tidak mempedulikan popularitas dan honor ternyata dari kisah Pak Imam tadi beliau pokoknya menulis setiap hari sampai beliau tidak bisa menulis lagi. Ini kata beliau ketika memberi kuliah Sosiologi Pendidikan di Ruang Rektorat UIN Maliki Malang awal Mei 2010. ada keinginan beliau agar aktivitasnya ini bisa ditiru oleh orang lain. Dengan kaca mata kita memberi contoh yang baik. Bila ditiru orang lain kebaikan ini maka menjadi amal jariyah yang tidak akan berhenti. Subhanallah.
Mengenai amal jariyah, saya teringat dengan pembagian amal saleh. Ada yang namanya kesalehan ritual, sosial dan intelektual. Selama ini masyarakat masih berfikiran bahwa amal hanya amal atau ibadah mahdoh semata. Sehinga banyak terjadi kesalahpahaman antar organisasi keagamaan karena hal ini. Terus mengenai amal sosial belum juga tersentuh dengan maksimal apalagi yang berkaitan dengan kesalehan intelektual. Padahal wahyu yang turun pertama kali adalah iqra’. Perintah membaca. Dikandung maksud umat Islam sukses juga secara intelektual. Wawasannya luas, world view. Sehingga menjadi umat yang mapan. Kita ini umat Islam di Indonesia bangga dengan kuantitas yang terbesar di dunia. Hanya saja produk pemikiran ini mana, dan apa? Bila dilihat dari jumlah perguruan tinggi agama Islam negeri– ada UIN Jakarta, UIN Bandung, UIN Jogya, UIN Malang, UIN Riau dan UIN Makassar, ada IAIN yang jumlahnya 13 dan STAIN yang berjumlah 33 berikut swastanya yang banyak sejumlah ratusan seharusnya negeri kita menjadi rujukan khasanah peradaban Islam. Dengan melihat produk pemikiran dari perguruan tinggi itu. Apalagi ditambah dari pengembangan keislaman di pondok pesantren. Belum lagi banyaknya warisan intelektal Islam nusantara di masa lalu kiranya hal itu menjadi motivasi ke arah raihan kejayaan Islam di masa mendatang. namun mengapa itu belum terjadi? Apa mungkin menunggu keajaiban? Lha, kesalehan intelektual ini yang masih minim dan perlu dikembangtumbuhkan oleh para sarjana muslim dari berbagai disiplin ilmu. Hingga suatu saat bisa jadi bahasa kebanggaan kita bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional karena karya ilmiah kita menjadi rujukan warga dunia.
Lalu apa yang bisa dilakukan kita sekarang. Kayaknya tidak lain dan tidak bukan untuk memulai belajar menulis. Menulis apa saja yang penting kita mood dan semoga bermanfaat. Minimal ada keteraturan menulis setiap hari yang hal itu semoga menjadi pengganti wirid. Ya, wirid sedikit walau sehari hanya bisa menulis satu halaman. Syukur-syukur bisa dibaca orang lain dan bermanfaat minimal kita sudah menuangkan sedikit yang kita bisa biar menjadi ilmu. Seperti yang disampaikan Pak Kiai bahwa dzikir sedikit tetapi istiqomah maka karomah akan datang sendiri tanpa di minta.
Lalu temanya apa? Tema apa saja. Bisa tentang angon bebek, petani di sawah, pesuruh, pegawai pasar, mancing ikan dan masih banyak lagi. Mengenai ini saya teringat lagi para ulama terdahulu. Seperti Imam Ghazali, Imam Syafi’i di beberapa abad yang lalu yang masih menjadi rujukan pendapat beliau hingga hari ini dengan karyanya yang masih menjadi referensi. Para kiai kita seperti Kiai Mahfudz Termas Pacitan, Kiai Dahlan Jampes Kediri dan masih banyak yang lain menjadi penulis yang produktif dan brilian. Karya beliau mendunia. Saking lakunya kitab Kiai Dahlan Sirajut Thalibin dibajak di Mesir. Buah pikiran beliau-beliau banyak dalam arti berjilid-jilid dan berbagai disiplin ilmu kayaknya tidak sebanding dengan usianya. Hal ini menunjukkan bahwa kiai pondok pesantren juga termasuk penulis produktif yang bisa memberi motivasi bagi para penulis pemula untuk meniru himmah beliau dalam menulis.
Wallahu a’lam bi al shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar