Jumat, 14 Mei 2010

Kinerja berbasis cinta

Ka’bah sebagai kiblat umat Islam dibangun pada masa Nabi Ibrahim AS. Dengan dibantu oleh putranya Ismail, Nabi Ibrahim membangun Ka’bah. Dilihat dari wilayah Arab waktu itu gersang tidak ada tanaman yang bisa menghasilkan untuk kelangsungan hidup. Karena perintah Allah, Nabi Ibrahim membawa isterinya Siti Hajar pindah dari Palestina ke Makkah dengan segala keterbatasan yang ada waktu itu.
Konon tempat berdirinya Ka’bah adalah tengah-tengah bumi. Yang lurus ke atas ada baitul makmur. Dari pantauan satelit, Ka’bah kelihatan bercahaya beda dengan tempat-tempat yang lain. Ka’bah sebagai kiblat atau tujuan menghadap ketika sholat terjadi ketika tahun kedua hijrah. Diceritakan bahwa ketika Nabi Muhammad menjadi imam sholat turunlah wahyu bahwa arah kiblat berpindah dari Baitul Maqdis di Palestina ke Ka’bah di Masjidil Haram. Sehingga pada waktu itu pula arah kiblat berpindah. Jadi waktu sholat tersebut terjadi dua arah kiblat. Dan masjid yang digunakan sholat dirubah menjadi masjid qiblataini sebagai tanda perubahan arah kiblat. Setiap tahun kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia bertamu ke Makkatul Mukarromah untuk berziarah ke Ka’bah. Jadi dari beragam etnis, suku, ragama bahasa, dialeg, kaya, miskin tumple di sana. Rela mengeluarkan banyak ongkos demi melihat ka’bah.Rasa haru sampai meneteskan air mata. Bisa bercampur rasa haru, senaang, takjub, berbaur menjadi satu. Semua Umat mencintai ka’bah
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap tahun calon jamaah haji di Indonesia semakin bertambah. Terutama masyarakat di Pulau Jawa. Apa berarti ini menunjukkan bahwa masyarakat kita semakin sejahtera-lalu dengan banyak yang sejahtera bisa menulari kesejahteraannya ke tetangganya?hal ini perlu penelusuran lebih lanjut. Karena banyaknya sehingga ada waiting list – daftar tunggu. Tahun ini saja saya mendengar bila tahun ini daftar maka lima tahun lagi baru bisa berangkat. Dilihat dari ini saja, betapa umat muslim sangat mencintai Ka’bah. Sehingga harus rela mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk bisa mengunjungi rumah Allah ini. Ada cerita dari teman yang baru pertama kali melihat Ka’bah. Ada rasa haru, menakjubkan, bahagia, entah perasaan apa lagi sehingga tanpa terasa melelehlah air matanya. Padahal dia laki-laki. Dan selama ini, dia dikenal sebagai gentle. Tapi ternyata luluh juga ketika melihat Ka’bah. Mungkin ini juga yang namanya keramat. Suatu tempat yang begitu mempunyai nilai kesakralan yang tinggi. Yang tidak bisa dibahasakan dengan tulisan. Sehingga umat Islam dari berbagai suku bangsa, etnis, dan dari belahan dunia manapun di bumi ini ingin berziarah ke Baitullah.
Pemimpin juga seperti itu
Alangkah bahagianya bila seorang pemimpin juga dicintai rakyatnya. Dimana bila pemimpinnya berkata A maka seluruh rakyatnya berkata A. Begitu juga bila memutuskan untuk melakukan B maka seluruh rakyatnya akan melaksanakannya. Lalu apakah masih ada pemimpin seperti itu sekarang? Ini yang menjadi tanda tanya. Kalau dilihat, di negara kita. Indonesia diakui sebagai bangsa demokrasi terbesar setelah India, dan Amerika Serikat. Dimana pemimpinnya mulai dari kepala desa, Bupati/walikota, gubernur, presiden, DPR dan MPR serta DPD dipilih langsung oleh rakyat. Namun kenyataanya tidak semua kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya dipatuhi oleh rakyat. Hal ini disinyalir karena kebijakan yang diambil tidak pro-rakyat. Tapi lebih condong kepada tim suksesnya. Tim yang mengantarnya kesinggasana kekuasaan.
Pengikut bias mengikuti pemimpin
Lalu apa yang bisa dipetik dari hikmah itu. Pemimpin harus bisa menjadi contoh. Yang meminjam bahasanya Pak Imam Suprayogo adalah pemimpin harus siap untuk berjuang dan berkorban. Apalagi di alam demokrasi seperti sekarang. Yang serba uang, serba materi. Ada uang jalan, tidak ada dana ya dipikir lagi. Sehingga bawahan akan bekerja bila ada materi atau imbalannya. Tapi kalau pemimpinnya memberi contoh, maka bawahan akan berusaha mengikutinya.
Ada petuah menarik ketika saya berbincang-bincang dengan Pak Nur Syamsuddin, Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Nganjuk. Beliau bilang bahwa agar seseorang itu sukses dalam bekerja pertama kali yang dilakukan adalah mencintai pekerjaannya, atau mencintai profesinya. Bila sudah seperti ini maka akan lahir inovasi, etos untuk keberhasilan pekerjaannya. Bila sebaliknya, maka tidak akan terjadi perubahan. Padahal yang abadi dalam hidup ini adalah perubahan. Maka kalau ingin berhasil dan sukses haruslah berubah. Baik cara bekerja, cara berfikir. Hal inilah yang sebenarnya disampaikan dalam al-Qur’an bahwa Allah akan merubah nasib suatu kaum, suatu golongan bila kaum itu atau golongan itu mau merubah nasibnya sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.


Pisang, 27 Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar