Pada hari kedua hari raya idul fitri yang lalu saya mengantar teman ke rumah mertuanya. Sebenarnya memang silaturahim pas momennya hari raya terlebih lagi untuk mengambil putri pertamanya yang sudah lama di sana. Berangkat dengan naik mobil di pagi hari. Enak rasanya. Apalagi sambil ngobrol mengenai banyak hal. Mulai dari hal pondok pesantren hingga Nahdlatul ‘Ulama. Kebetulan teman saya tersebut putra seorang kiai dan aktif di organisasi Nahdlatul ‘Ulama Cabang Nganjuk.
Di lihat dari segi usia memang di atas saya. Bisa dikatakan keluarga muda. Karena memang usia putra-putrinya masih kecil. Masih di bawah anak saya. Putranya dua. Yang sulung masih kelas TK B. sedang yang kecil masih 3 tahun. Alumni dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Dan alumni dari Pondok Pesantren terkenal di kota Malang.
Diantara perbincangan yang terjadi adalah kondisi santri sekarang. Oleh karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman di samping menempuh pendidikan formal peserta didik juga tinggal di pondok pesantren. Sehingga pondok pesantren yang semula hanya khusus untuk tafaqquh fid din sekarang juga mulai menerima santri anak sekolahan. Praktis waktunya terbagi. Pagi sekolah sore baru di pesantren. Tidak salah. Dan tidak seideal seperti pondok di jaman dahulu. Di mana lulusannya menjadi ahli agama. Kiai besar lalu mendirikan pesantren sendiri di daerah asalnya. Dari sini bisa dilihat kemampuan santri sekarang. Perpaduan ilmu sekolah dan pesantren. Ideal sebenarnya. Dapat meraih penghidupan di dunia dan juga akhiratnya. Santri bisa lebih berkiprah di segala ranah kehidupan. Nafas dan etos kerjanya etos santri. Sangat ideal bahkan. Bisa saja besok yang menjadi direktur utama Pertamina, Aneka Tambang Krakatau Steel, Pelni, PLN, Bank Mandiri, BNI, BRI dan perusahaan-perusahaan besar lainnya berasal dari santri pondok pesantren. Agar tidak saja berkutat di Kementerian Agama. Sehingga ke depan santri sudah siap ilmu dan ready untuk berkiprah di segala lini sehingga bisa lebih bermanfaat.
Berkaitan dengan aktivitas di Nahdlatul Ulama ada banyak hal yang dibicarakan. Aktif di organisasi manapun baik social keagamaan maupun social an sih sebenarnya butuh bekal. Tidak hanya ringan tangan dan cekatan serta punya retorika saja. Namun juga seharusnya sudah lumayan secara ekonomi dan ada waktu. Walaupun hal tersebut tidak harga mutlak namun sebagai upaya menjaga diri agar bisa lebih berkhidmah kepada organisasi. Ada sindiran mengenai hal ini yakni nu, nunut urip. Jadi mencari kehidupan dengan aktif di organisasi. Bila ini terjadi maka akan semakin dirasakan manfaat organisasi oleh warganya. Sebagaimana dilakukan oleh para muassis Nahdlatul ‘Ulama. Disamping menjadi pengasuh pondok pesantren dengan ratusan bahkan ribuan santri namun mempunyai usaha. Baik perdagangan maupun bisnis. Dari penghasilan usaha inilah digunakan untuk membiayai operasional organisasi. Jika dilihat dari pengurus NU pertama. Ada diantara nama Hassan Gipo yang menjadi Ketua Tanfidziah pertama ternyata adalah seorang pengusaha. Jadi waktu itu antara ulama dan pengusaha sebagai penopang berdirinya Nahdlatul ‘Ulama. Memang tidak bisa dipungkiri NU adalah organisasi social keagamaan. Oleh karena itu fungsi ulama sangat sentral ditopang dengan kedermawanan yang punya uang dari pebisnis atau pengusaha. Maka akan jadi klop. Itu dulu. Lha, bagaimana sekarang? Perlu difikirkan sekiranya Nahdlatul ‘Ulama perlu menumbuhkan banyak kader NU yang punya jiwa kewirausahaan/entrepreneur. Sehingga kedepan banyak kader NU yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan yang menjadi pengusaha dari hulu sampai hilir. Disamping banyak juga yang ahli diberbagai bidang ilmu. Maka tidak ayal lagi keberadaan NU akan semakin dirasakan manfaatnya oleh nahdliyyin.
Juga dibahas kepemimpinan NU di level daerah. Masih erat dan lekatnya yang dipilih menjadi tanfidziah adalah dengan background pondok pesantren dengan memiliki sekian santri. Tidak memandang kemampuannya dalam memimpin. Jadi masih figur. Belum kapabilitas. Sehingga yang terjadi organisasi belum berdaya menggerakkan organ-organnya. Karena pengurus terkesan minta dilayani bukan melayani. Memang disadari hal ini tergantung situasi kondisi suatu daerah. Kelihatannya memang daerah masih menghendaki seperti ini. Pokoknya pemimpin masih bisa diterima itu saja. Saya ingat pemilihan ketua salah satu banom NU di kabupaten tetangga. Yang terpilih adalah kader yang sering turba. Pendidikannya masih belum S1 dan orasinya biasa saja. Namun lebih dipilih dan jadi. Sedang sekretarisnya diambil dari dosen dan aktivis yang sedang kuliah S3. Kalau di bilang ini takdir ya takdir. Tinggal kita meresponnya bagaimana.
Tanpa terasa perjalanan sudah sampai. Di sebuah daerah yang kental dengan budaya pondok. Terasa asri karena rumah kediaman dikelilingi pohon jati. Terasa nyaman dan betah. Tuan rumah menerima dengan baik. Bahkan diberi hidangan sarapan asli kampong. Senang sekali. Dan terasa nikmat. Saya pribadi penasaran. Pemilik rumah adalah seorang ibu dengan beberapa orang putra tepatnya 6 anak. Di di depan rumah ada asrama santri yang lama tidak dipakai. Setelah saya tanyakan ternyata itu adalah bagian dari rencana mendirikan pondok pesantren. Namun Allah berkehendak lain. Sang Bapak dipanggil kembali sebelum bisa melaksanakan rencana tersebut. Sedang putra-putrinya masih kecil. Dan berstatus yatim. Dengan tekad dan keyakinan yang tinggi ternyata hamper semua putranya mengenyam pendidikan tinggi dan menjadi santri. Bahkan ada beberapa yang menjadi hafidzah. Luar biasa. Walau begitu berat beban yang ditanggung oleh Sang Ibu tapi tidak kelihatan guratan beban dalam wajah beliau. Saya hanya berguman dalam hati. Mungkin Ibu ini senantiasa puasa sunnah. Sehingga wajah kelihatan segar. Memang salah satu hikmah berpuasa adalah membuat wajah berseri. Ini saya baca dari keterangan medis. Dan kayaknya prediksi ini benar karena saya memperoleh informasi bahwa keluarga ini membiasakan puasa senin kamis. Dan terbawa hingga isteri teman saya juga melaksanakannya sampai sekarang.
Begitulah ikhtiar seorang ibu yang berjuang membesarkan putra-putrinya seorang diri. Dan berhasil. Subhanallah. Memang Allah Maha Kuasa. Namun melihat cerita di atas tidak sembarang orang yang diuji dan berhasil melewati waktu yang panjang dalam mengasuh putra-putri bahkan menjadi orang. Namun karena keyakinan akan pertolongan Allah saja hal itu bisa dilewati. Memang manusia wajib berikhtiar dan berusaha baik dhohir dan batin. Allah sendiri yang akan menentukan. Kepada Allah kita menyembah dan kepada Allah jua kita mohon pertolongan. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar