Perbendaharaan kata baru, demokrasi kolusif. Diambil dari majalah The Economist. Bertutur tentang gaya politik SBY dalam mengambil kebijakan dalam memimpin Indonesia pada periode kedua. Walau pertumbuhan Indonesia terus naik namun ternyata tidak berpengaruh terhadap daya saing bangsa. Bias dilihat dari indicator dari setiap 3 ibu yang akan melahirkan diperkirakan tidak tertolong.
Dilihat bila Indonesia pendapatannya naik namun masih kalah dengan Negara yang baru merdeka kemarin sore yakni Vietnam. Hal ini berpengaruh terhadap nilai investasi yang ditanam.
Bias ditengok juga dari berpindahnya pasangan ketika maju dalam pemilu. Kita ingat ketika pemilu 2004. SBY berpasangan dengan
Jusuf Kalla. Walau tidak mewakili Golkar karena Golkar sendiri memberangkatkan Wiranto dan Sholahudin Wahid. Namun selanjutnya Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum DPP Golkar. Pada periode berikutnya pasangan ini berpisah dengan SBY menggandeng Budiono mantan Gubernur BI. Sedangkan Golkar mencalonkan Jusuf Kalla dan Wiranto. Ternyata ini berpengaruh juga pada tataran di bawahnya. Banyak pasangan gubernur dan wakil gubernur, juga bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota. Sehingga memang kelihatan bahwa politik itu tidak abadi yang abadi adalah kepentingan. Bila kepentingan dan tujuannya sama maka ideologi, ras, agama dan lainnya menjadi nomor ke sekian. Yang penting tujuan tercapai.
Kepentingan rakyat yang seharusnya menjadi parameter bekerja dalam pemerintahan menjadi lips service belaka. Yang utama adalah kekuasaan di tangan. Masalah hak-hak rakyat yang disampaikan dalam kampanye adalah pemanis di bibir saja.
Berdasar hal itu maka ada wacana dari pemerintah bahwa kedepan wakil gubernur, juga wakil bupati, wakil walikota diambilkan dari pegawai negeri karier. Seperti wakil menteri. Sehingga pergantian pimpinan sebagai simbol politik tidak berpengaruh pada pelayanan pemerintah sebagai aparat yang melayani masyarakat.
Juga dipengaruhi agar para bupati, walikota dan juga gubernur tidak mencalonkan lagi pada periode ketiga sebagai wakil. Karena ini akan berpengaruh pada perkembangan etika politik.
Kembali lagi mengenai politik kolusif. Dalam terminologi pasca orde baru ada namanya KKN (Kolusi, Korupsi dan nepotisme). Politik kolusif sendiri sebenarnya juga dilarang. Karena para elit politik adalah kawan dekat semua tidak ada kekuatan penyeimbang (oposisi) berarti. Semuanya dirangkul. Sehingga seperti koor. Kemudian bisa dilihat dari terbentuknya setgab, sekretariat gabungan dengan ketua SBY sendiri dengan ketua harian Aburizal Bakrie dengan anggota beberapa partai menengah diantaranya PPP, Partai Demokrat, Partai Golkar yang masuk belakangan, PKB, PKS, PAN. Sedangkan PDI Perjuangan yang berada di luar arena pemerintahan juga kelihatan akan dirangkul untuk memperkuat posisi pemerintahan dengan tawaran jabatan menteri.
Apakah gaya demokrasi seperti ini akan lebih baik bagi negeri kita?
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar