Selasa, 22 Februari 2011

Menulis Sebagai Pengobat Stress

Ada hal yang menarik yang ditulis oleh Rektor UIN Syahida Jakarta, Komarudin Hidayat. Beliau menceritakan pengalamannya sewaktu nyantri dulu di Pesantren Pabelan. Yakni setiap santri diwajibkan menulis catatan harian seperti diary sekarang ini. Menulis kejadian penting selama 24 jam. Lalu setiap pekan harus membuat semacam tulisan makalah. Dan hebatnya lagi Pak Kiai sendiri yang memeriksanya. Dari kebiasaan ini terbentuklah santri yang dengan mudah menulis makalah, laporan penelitian dan sejenisnya ketika masa perkuliahan. Dengan menulis seorang akan berusaha menulis dengan cermat, memanpatkan ruang yang ada sehingga pembaca bisa memahami dan mengerti dengan apa yang ditulis.
Dengan menulis bisa dilihat juga kapabilitas seseorang. Saya sendiri senang membaca artikel para dosen dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Malang dan UIN Syahida Jakarta. Apalagi para rektornya menulis tiap hari. Bisa dilihat dari blognya Pak Nur Syam, Pak Imam Suprayogo dan Pak Komarudin Hidayat. Bila pimpinannya sudah seperti itu akan berimbas pada pimpinan di bawahnya. Dan bila ini terjadi akan berkembang luar biasa ilmu pengetahuan di kampus-kampus kementerian agama. Apalagi sekarang ini ada 6 UIN, 8 IAIN dan 33 STAIN. Minimal ketua STAIN harus S3 sekarang ini. Jadi sangat bergeliat aktivitas keilmuan di kampus-kampus itu.
Di sadari kemampuan siswa dan mahasiswa dalam hal menulis memang masih minim. Ini bisa ditelisik dari kemampuan dasar mereka ketika di bangku sekolah atau madrasah. Ternyata pelajaran mengarang pada kurikulum-kurikulum sebelumnya diterapkan sudah jarang diterapkan lagi. Sehingga seperti ini jadinya. Tentu saja kemampuan menulis/mengarang ini berkaitan dengan membaca, mendengarkan.
Berkaitan dengan menulis sebagai pengobat stress dan pengobat penyakit bisa dilihat dari pengalaman CEO PLN, Dahlan Iskan. Ketika melaksanakan transplantasi hati di RRT beliau memaksa untuk menuliskan pengalamannya setiap hari. Walau sebelumnya dilarang oleh dokter yang merawatnya karena dikhawatirkan akan mengganggu jalannya perawatan. Namun ternyata tidak berpengaruh bahkan pengalaamannya itu bisa memberi motivasi kepada khalayak untuk terus bisa merubah takdir. Tidak boleh pasrah atas takdir yang dialami. Semuanya setelah ikhtiar dilakukan baru dipasrahkan kepada Allah, sebagai Maha Penentu kehidupan manusia. Dan tulisan-tulisan beliau ditulis dalam buku. Dan saya ingat waktu itu setiap hari Koran Jawa Pos menurunkan tulisannya secara bersambung.

Wallahu a’lam bi al shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar