Beberapa hari lalu dilansir bahwa banyak pejabat yang menjadi urusan petugas hukum. Ditengarahi ada 17 gubernur dari 33 gubernur seluruh Indonesia. Berarti ada separuh lebih satu. Berarti ini hal yang serius yang harus ditangani dan dicarikan akar permasalahannya. Dari angka 17 di atas, ada yang sudah masuk pengadilan, diduga, bahkan ada yang sudah menerima hukuman di hotel “prodeo”.
Mengapa pejabat sampai berurusan dengan aparat penegak hukum? Ini yang mungkin menjadi biang keroknya. Sebagaimana diketahui oleh masyarakat bahwa untuk menjadi pejabat terutama ketika harus mengikuti pemilukada membutuhkan banyak uang. Mulai dari ratusan juta hingga ratusan milyar. Mulai dari pemilukada kabupaten, kota dan provinsi. Lha, uang ini untuk apa? Bisa untuk sosialisasi personal agar bisa dikenal luas oleh khalayak, membeli tiket agar bisa diberangkatkan oleh partai politik, program-program yang bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat akar bawah lalu serangan fajar, biaya saksi, biaya penetapan calon jadi, syukuran bila terpilih dan sebagainya. Inilah yang terkadang terlupakan dari euforia demokrasi sekarang ini.
Pemilukada memang anak kandung demokrasi. Namun ada imbas yang harus diterima yakni diantaranya para pejabat harus mencari pemasukan selain gaji. Bila hanya mengandalkan gaji mana cukup? Maka para pejabat berpikir bagaimana cara mengembalikan invest yang sudah dikeluarkan. Walaupun itu terkadang menyalahi aturan hukum, asas kepantasan dan kepatutan sebagai seorang pejabat. Inilah yang menjadi bahan refleksi kita semua.
Perbuatan korupsi menjadi musuh utama bangsa ini. Apalagi terjadi di negara berkembang. Akibatnya tidak main-main. Akan menjadi efek domino berangai yang menyengsarakan banyak pihak. Bila uang berputar dikalangan tertentu saja, elit misalnya. Maka tidak akan menetes ke bawah. Sehingga kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Yang berarti juga akan terjadi fenomena gunung es. Suatu saat akan terbongkar siapa pelakunya. Bisa dilihat banyak mantan pejabat baik bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, gubernur dan mantan menteri yang duduk di kursi pesakitan gara-gara masalah ini. Bukankah masalah masa lalu juga bisa dibuka lagi?
Belum lagi efek yang diterima oleh pihak keluarga. Anak, isteri, cucu, keluarga besar, kolega semuanya akan merasakan akibatnya. Akan merasa terbebani dalam kehidupan di masa yang akan datang.
Namun ada yang aneh di negeri ini berkaitan dengan aspek kepatutan dalam ritme menjadi pemimpin. Yakni ada misalnya bupati yang diturunkan karena gara-gara korupsi. Bahkan sudah mendekam di balik jeruji penjara. Namun yang terjadi isteri dari bupati tersebut yang menjadi bupati pengganti setelah melalui pemilu. Ironis. Apakah masyarakat tidak melihat, atau oleh karena suara yang dibeli. Sehingga benar kata orang bahwa masyarakat Indonesia mudah lupa dengan sejarah masa lalu. Dengan uang lembaran seratus ribuan saja dengan mudah menukar suaranya. Lalu dengan keadaan seperti ini siapa yang disalahkan/
Selain itu ada juga fenomena lain. Yakni mantan bupati atau walikota yang sudah menjabat dua periode macung lagi dalam pilkada. Karena kalau bertarung dalam posisi pertama tidak diperbolehkan undang-undang maka macungnya menjadi posisi wakil bupati atau walikota. Satu sisi ini merusak etika birokrasi, bernegara. Memang ini ada yang mengatakan melanggar hak asasi. Kejadian ini ada contohnya yakni wawali Surabaya, Bambang DH. Ia sebelumnya menjadi walikota selama dua periode. Dan macungnya lagi Heny Relawati Bupati Tuban menjadi calon wakil bupati. Maka ada rancangan dari kemendagri agar pemilukada hanya memilih bupati, walikota. Sedangkan wakilnya berasal dari pegawai negeri karier. Bisa diantaranya dari sekda. Seperti wakil menteri biasanya diambilkan dari pejabat karier. Memang menjadi menteri adalah jabatan politis yang setiap saat bisa diganti. Agar terjadi keberlangsungan tugas pemerintahan maka wakilnya dari pejabat karier aktif.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar