Bila menurut statistik yang dirilis Kementerian Agama beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa jumlah madrasah swasta berada pada kisaran 95%. Hanya lima persen yang berstatus negeri. Walau sekarang terus ada penegerian madrasah. Tahun lalu ada lebih dari 400 madrasah yang dinegerikan di seluruh nusantara. Perubahan status ini dikandung maksud untuk kelancaran operasional ke depan. Memang tidak bisa dipungkiri kondisi madrasah swasta ada yang sulit berkembang.
Hal utama yang menjadi mandegnya perkembangan madrasah adalah dana. Lalu SDM guru dan sarana prasarana. Belum lagi terkadang salah urus manajemen. Diantaranya permasalahan antara kewenangan kepala madrasah dengan yayasan.
Dengan status penegerian berarti harta milik madrasah sebelumnya menjadi milik negara. Baik itu gedung, tanah, siswa dan lainnya. Ini konsekuensi logis. Karena bila tidak akan terjadi salah urus pada waktu selanjutnya.
Walau sampai sekarang penegerian madrasah masih terus berlangsung namun ada juga madrasah yang masih bertahan seperti semula sebagai madarasah swasta. Alasan yang digunakan antara lain agar bisa mandiri dalam menentukan arah madrasah. Memang biasanya yayasan dalam membangun madrasah mempunyai filosofi tersendiri. Tidak mau pihak lain yang turut mencampuri. Karena takut tujuan semula tidak akan tercapai.
Dengan status swasta maka pihak yayasan bebas dalam menentukan arah lembaga, rekrutmen tenaga pendidik dan kependidikan tentunya dengan kriteria masing-masing, mengatur keuangan, peluang karier tenaga dan lainnya.
Memang bila dikaji ada aspek plus minusnya. Namun dari sekian permasalahan pendidikan swasta antara lain ada dua yang penting, diantaranya masalah keuangan dan kepegawaian. Dua hal ini sangat sensitif dibicarakan apalagi dengan yayasan dengan sistem tertutup.
Tertutup di sini dalam arti sendika dhawuh terhadap keputusan yayasan. Tipe seperti ini biasanya menghasilkan lembaga yang la yamutu wala yahya. Tidak bermutu dan tidak berdaya. Kualitas lembaga tidak berkualitas, tidak bisa berkembang sebagaimana lembaga yang lain. Namun juga tidak mati. Hanya stagnan tidak bisa berkembang. Terkadang juga ada konflik internal. Ini terjadi bila tupoksi antara yayasan dan manajemen lembaga kurang jelas.
Permasalahan ini sering terjadi. Bahkan banyak. Apakah hal ini disadari oleh pemangku kepentingan atau tidak? Dan apakah bisa mengatasinya atau tidak? Ini menjadi tanda tanya besar dan menjadi PR besar semua kalangan. Karena menyangkut banyak pihak. Mulai dari pemerintah, siswa dan masyarakat sebagai pengguna dari output pendidikan.
Maka benar kiranya harus ada hitam di atas putih tentang kepegawaian dan keuangan. Ada beberapa contoh kasus tentang hal ini. Ada pegawai baru masuk karena masih kerabat dekat dari pimpinan yayasan. Walau kompetensinya meragukan. Begitu juga memasukkan tenaga baru karena titipan dari saudara pembina yayasan padahal jumlah pegawai sudah overload. Dan juga terkadang semua keluarga yayasan di masukkan. Dan menggusur pegawai yang sudah ada. Ini yang menjadi dilema bagi pimpinan madrasah. Di satu sisi harus mengikuti aturan kepegawaian untuk meningkatkan kualitas madrasah namun disatu sisi yang lain harus mengikuti kemauan yayasan yang terkadang akan memperparah keuangan madrasah.
Mengenai masalah keuangan harusnya juga diatur sedemikian rupa sehingga dengan dana yang ada bisa meningkatkan kuntitas dan kualitas madrasah. Dan memperkecil permasalahan internal. Karena yang harus di hadapi bagaimana mendapatkan kepuasan pelanggan dan stakeholder. Lebih-lebih juga kepuasan dari seluruh pegawai yang ada agar merasa enjoy dalam bekerja. Sehingga pada gilirannya akan memacu kinerja. Dengan hasil akhir output pendidikan akan terdongkrak dan mempunyai daya tawar di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar