Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyampaikan pentingnya pendidikan karakter. Mulai dari Menteri Pendidikan Nasional, M. Nuh dan berbagai pihak. Dirasakan karakter generasi muda sudah jauh dari masa lalu. Kalau kita lihat jaman kemerdekaan, para pemuda begitu heroik dengan rasa patriotismenya untuk mendapatkan kemerdekaan Indonesia. Namun sekarang bagaimana?
Jika menonton tayang televisi hampir setiap hari ada yang namanya demonstrasi di mana-mana. Bila merasa tidak puas, berbagai elemen masyarakat menggelar aksi tidak puas dengan turun jalan. Hal ini memang biasa dalam negara demokrasi. Namun yang tidak wajar adalah aksi anarkisme. Bila tidak sesuai dengan keinginan maka akan merusak apa saja yang ada didekatnya. Hingga kantor polisi, gedung perkantoran dan fasilitas umum lainnya. Kita masih ingat peristiwa pembakaran gedung pemkab Tuban dan pembakaran puluhan mobil dinas di lingkup pemkab Mojokerto. Keduanya sebagai ekses dari pilkada.
Beberapa waktu lalu di Jakarta terjadi tawuran antar pemuda. Dan juga di wilayah lain. Yang mengejutkan dan mengharukan adalah tawuran antar mahasiswa. Dan dilakukan di satu kampus atau kampus yang berdekatan. Seperti terjadi belum lama ini perkelahian antara mahasiswa fakultas Fisip dengan mahasiswa fakultas teknik di Makassar. Akibatnya ada yang luka dan kerusakan gedung perkuliahan. Setelah itu beberapa hari perkuliahan di liburkan. Pernah juga hal tersebut di Irian. Lha, ini bagaimana? Mahasiswa sebagai generasi muda calon pemimpin masa depan masih bisa berbuat seperti bukan anak sekolahan. Bagaimana posisinya sebagai intelektual muda? Inilah yang merisaukan kita selama ini.
Ada salah seorang rektor perguruan tinggi ternama mengatakan beberapa indikator seorang rektor yang berhasil dalam menjalankan tugasnya. Selain dari tupoksi yang sudah paten. Dintaranya adalah bisa menekan pergaulan bebas yang terjadi di kalanga mahasiswa, dan menekan tawuran mahasiswa. Dua hal ini cukup merisaukan para pimpinan perguruan tinggi.
Dua hal tersebut memang menjadi momok yang menakutkan. Bila kita menyadarinya dari sisi agama dan masa depan negeri ini. Dan tentu saja bagi pemerhati tentunya. Ditengah zaman yang serba tidak ada dinding pemisah antar negara, perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat sehingga budaya lintas negara begitu mudah masuk ke kamar-kamar pribadi. Inilah yang menyebabkan banyak masalah dan tantanga. Disamping budaya permisif, ikatan sosial di masyarakat semakin longgar menyebabkan pergaulan semakin longgar saja. Hal ini dipengaruhi budaya konsumerisme, life style, fashion, and pleasure yang semakin menjadi-jadi. Pada tataran akhirnya hedonism yang menjadi tujuannya.
Mengatasi hal ini, Prof. Imam Suprayogo mengajukan usul untuk menumbuhkan nilai-nilai agama dalam kehidupan anak didik. Tidak hanya di sekolah atau madrasah tetapi juga peran orang tua dan masyarakat semakin dibutuhkan. Jadi secara bersama-sama guru di sekolah dengan kultur sekolah yang ada melakukan serangkaian pembiasaan baik. Begitu juga keluarga di rumah meneruskan kebiasaan itu sehingga menjadi pembiasaan dengan sendirinya. Misalnya sikap disiplin, tanggungjawab, jujur, syukur dan sebagainya.
Usulannya menarik, diantaranya: anak didik di ajak untuk bertilawah kitab sucinya. Tilawah di sini berarti memahami ajaran kitab suci. Anak didik diajak lebih dekat memahami ajaran agamanya yang sudah ditulis dalam kitab suci. Kitab suci sebagai pedoman hidup harus benar-benar bisa terinternalisasi dalam kehidupan. Caranya dengan mengajak anak didik untuk mencintai kitab sucinya. Tentu saja hal pertama yang dilakukan adalah bisa membacanya dengan baik dan benar. Maka sangat perlu bila sekolah membuat aturan agar anak didik bisa terbebas dari buta huruf al-Qur’an. Bila lulus dibuat surat keterangan lulus membaca al-Qur’an dan point tersendiri dalam mata pelajaran PAI. Pada tingkatan selanjutnya bisa memahami lalu mengamalkan dalam kehidupan. ,Bila sudah terbebas dari buta huruf al-Qur’an sebenarnya sudah melakukan ijtihad berbuat baik dan dakwah sekaligus. Hanya saja perlu keberanian dari kepala sekolah untuk berani seperti ini. Dan biasanya hanya kepala sekolah yang pro perubahan dan pemimpin tipe visioner yang bisa berfikir seperti ini. Out put yang bermutu perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Tidak hanya intelektualnya saja. Tetapi sisi kecerdasan emosional dan spritualnya juga diasah. Para penghuni “hotel prodeo” itu banyak yang tamatan perguruan tinggi. Jadi sebenarnya mereka itu tahu berbuat salah namun mengapa tetap melakukannya? Bisa saja disebabkan hanya mengandalkan rasio saja mengabaikan pertimbangan hati dan ajaran agamanya.
Kedua, mendekatkan diri dengan tempat ibadah. Anak didik dibiasakan untuk sholat berjamaah di masjid atau mushola sekolah. Maka kegiatan sholat dhuha, sholat dhuhur berjamaah, lalu majelis taklim di sekolah sangat baik untuk perkembangan jiwa anak didik. Guru harus memberi teladan dengan senantiasa sholat berjamaah bila panggilan adzan sudah dikumandangkan. Tidak hanya guru, para pimpinan mulai dari kepala sekolah hingga wakil kepala juga turut di dalamnya. Bila ini terjadi akan mempercepat pengembangan kultur sekolah.
Ketiga, anak didik diajak dekat dengan ulama. Ulama disini dengan gurunya. Guru adalah orang tua di sekolah, panutan dan memberi tauladan. Maka bila anak didik dekat maka ada modelling yang bisa dicontoh. Tentu saja guru harus baik dulu dengan agar bisa menjadi modelling anak didik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar