Sabtu, 30 Oktober 2010

Belajar Mendidik Anak dari Sopir Pengangkut Pasir

“Mohon maaf, saya puasa”, itulah kalimat yang saya ingat ketika saya menawarkan teh kepada sopir pengangkut pasir. Setelah ia memarkir truknya di depan rumah. Kebetulan waktu itu saya pesan pasir di salah satu toko bangunan di daerah Kertosono. Kejadian itu sudah terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Tepatnya bulan Rajab.

Karena penasaran sambil melihat orang kerja saya berbincang-bincang dengan sopir tersebut. Dari cerita yang saya dapat bahwasanya ia mempunyai lima anak. Yang sulung sudah kuliah di IAIN Surabaya. Dua adiknya juga sudah kuliah. Dan kelima anaknya mondok semua. Semakin bertambah penasaran, kok masih ada yang ingin memondokkan anaknya. Dan si anak sendiri juga mau. Padahal sekarang ini banyak anak yang sudah terbiasa dengan hal yang enak, bila menemuai suatu hal yang tidak menyenangkan atau terasa berat sudah mengeluh. Di pondok pesantren, santri dilatih mandiri. Segala keperluannya dipersiapkan sendiri. Mulai dari makan, mencuci pakaian, menyetrika, dan segala keperluan pribadi disiapkan sendiri oleh santri. Jauh dari orang tua. Namun sekarang ada juga mengenai makan bisa disiapkan kantin. Melihat seperti itu, anak-anak Pak Sopir ini tetap ingin tinggal di pondok untuk menuntut ilmu. Hal inilah yang luar biasa menurut saya. Jadi sekarang ia di rumah bersama isterinya saja. Anak-anaknya pulang bila ada liburan sekolah dan pondoknya. Padahal anak bungsunya (anak kelima) baru kelas 5, sekarang menghafal al-Qur’an di Jawa Barat.

Puasa yang ia lakukan bertujuan ingin mendoakan anak-anaknya. Dengan kata lain dengan mendekatkan diri kepada Allah semoga apa yang dikerjakan mendapat ridha dan hidayah dari Allah. Suatu hal yang sudah jarang dilakukan oleh para orang tua. Kebanyakan yang ada dan saya temui dari teman-teman, ikhtiar yang dilakukan hanya sebatas lahiriah saja. Dengan bekerja keras dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga termasuk pendidikan anak-anaknya. Bila masih kurang, bank sudah siap untuk menyalurkan pinjaman kredit. Usaha batiniah sudah jarang dilakukan.

Pada hari Jumat kemarin, Pak Sopir mengirim pasir lagi seperti yang saya pesan. Ternyata ia punya toko bangunan. Setelah saya amati ada pembagian tugas, isteri menjaga toko sedang ia bertugas menyiapkan order pasir, genteng, bata merah, batako dan sejenisnya. Dilihat dari nada pembicaraannya ia tergolong orang yang sabar. Segala sesuatunya dipasrahkan kepada Allah. Tugas manusia hanya berikhtiar dengan semampunya. Bukan berarti ala kadarnya. Namun dengan maksimal. Lahiriah dan batiniah. Lalu sesudah itu baru bertawakal kepada Allah. Dari cerita yang saya dengar pernah suatu kali ketiga putranya bareng masuk sekolah. Ada yang dipondok dan PT, ada yang ke pondok dan madrasah aliyah. Bareng semua. Tentunya membutuhkan biaya lumayan. Namun karena yakin atas takdir Allah maka alhamdulillah ketika waktunya membayar ada orang yang mengirim uang. Uang dari hasil penjualan barang di tokonya. Lalu ia menyitir salah satu ayat al-Qur’an yang maksudnya binatang melatapun sudah dipersiapkan rizkinya oleh Allah. Apalagi manusia. Pastilah setiap mulut juga sudah ada rizkinya. Tinggal mau mengambil atau tidak. Mengenai kebutuhan sarana pendidikan anak-anaknya juga berulang kali terjadi. Diantaranya juga ketika ketiga anaknya yang kuliah meminta laptop toshiba. Laptop jenis ini lumayan juga harganya. Pernah pada kisaran 12 juta namun sekarang sudah turun. Namun masih lumayan mahal bagi petani yang hanya menanam bukan pemilik lahan. Alhamdulillah juga setelah empat hari anaknya matur juga bisa membelikan juga. Sehingga kelihatannya hidup ini sudah ada yang mengatur. Tinggal menjalani.

Dari hasil pembicaraan tersebut saya menduga memang anak-anak Pak Sopir ini termasuk anak yang soleh. Bagaimana tidak semuanya sebagai santri di pondok pesantren hingga ketika kuliah. Bahkan yang kecil sekarang sudah mondok pada hafalan sekitar 20 juz. Dan kesemuanya meminta sendiri bukan orang tua yang meminta mondok. Berasal dari kesadaran sendiri. Bila sudah waktunya mondok ya mondok. Mengenai anaknya yang kecil ingin mengahafal al-Qur’an ada cerita sendiri. Biasanya Pak Sopir ini membuka khataman al-Qur’an di pagi hari. Dan Si Kecil ini ikut. Lama-kelamaan timbul pada dirinya ingin hafalan al-Qur’an. Oleh karena ini permintaan sang anak maka dengan keikhlasan diantarlah ke pondok pesantren di Jawa Barat. Sehingga sekarang Pak Sopir ini seperti pengantin baru lagi. Karena hanya tinggal berdua dengan isterinya.

Ada yang menarik dari kehidupan keluarga Pak Sopir ini. Waktu saya memesan pasir di tokonya, ibu sopir ini yang menerima. Dan dari pembicaraan dengan pembeli sebelumnya ia bilang walau jam 06.30 sudah ada pembeli maka tidak akan dilayani. Hingga ia selesai menunaikan sholat dhuha dulu. Rasanya sudah plong begitu. Mengenai sarapan tidak menjadi soal. Kapanpun bisa dilakukan begitu katanya. Melihat ini saja saya berfikir betul juga apa yag dlakukan ibu ini. Ikhtiar lahirilah tetap dilakukan namun ikhtiar batiniah untuk kelancaran rizki tetap juga dilakukan dengan istikomah. Diantaranya istikomah sholat duha sebelum bekerja di pagi hari. Bahkan ada cerita oleh karena istikomah melakukan sholat dhuha bisa menjadi jalan untuk masuk surga. Sholat dhuha sebagai sarana takarub kepada Allah dengan hikmahnya memperlancaar rizki sudah banyak kitab dan dawuhnya Pak Kiai tentang ini. Namun karena ini dipraktekkan oleh orang lain dan nyata hasilnya membuat yang mau mengambil hikmah akan terasa berarti untuk bisa dijadikan model.

Pak Sopir ini ketika masih nyantri di Ploso didawuhi oleh Kiai Zainudin -setelah acara ngaji selesai sambil ia disuruh memijit- bila ingin mendapatkan anak yang soleh ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh suami isteri. Pertama, ketika “menanam benih” harus selalu ingat kepada Allah. Memohon dikaruniai anak yang soleh-solehah. Ini dikandung maksud bahwa sejak awal sudah meminta, sudah berdoa agar dikaruniai anak yang soleh solehah. Dianalogikan bila mau pinjam kredit di bank maka harus pesan dulu kepada bank agar diberi pinjaman kredit. Tidak serta merta pinjaman akan dikucurkan tanpa ada pengajuan terlebih dahulu. Jadi kalau ingin mendapatkan anak yang soleh sejak awal “benih ditanam” sudah mengajukan proposal anak yang soleh. Tidak hanya senang saja yang dirasakan. Kedua, setiap selesai sholat tidak lupa membaca sholawat nabi minimal 100 kali begitu juga istigfar. Sehingga sehari semalam kalau bisa minimal membaca seribu istighfar dan seribu sholawat nabi. Mengenai hal ini, saya teringat dawuhnya Kiai Ghozali Pandanasri bahwa santri wiridannya cukup membaca sholawat dan istighfar. Tidak usah yang lain. Ini dianggap cukup. Kalau membaca istifhfar maka Allah akan memberi ampunan dosa berarti manusia bersih dari dosa. Maka insyaAllah jatah masuk surga. Dan dengan membaca sholawat nabi maka akan diberi syafaat atau pertolongan dari Kanjeng Nabi. Sehingga hidupnya selamat. Lalu apa lagi yang dicari? Itulan kira-kira maksud dari dawuhnya Kiai Ghozali.

Begitu juga sebisa mungkin untuk membaca al-Qur’an walau hanya setengah halaman sehabis sholat. Membaca al-Qur’an ini sebagai wiridan. Ketiga, Pak Sopir ini juga pernah melakukan puasa selama setahun terus-menerus. Dilakukan setelah menikah. Dan kayaknya ia masih melakukan puasa sunah pada hari-hari tertentu. Kebetulan kemarin hari Jumat ketika saya tawari kopi di minum. Katanya hari jumat kok puasa. Memang mengawali puasa hari jumat tidak boleh. Boleh dilakukan tetapi hari Kamis sebelumnya juga puasa. Atau Jumat puasa hari Sabtu juga harus puasa sehingga tidak ada anggapan untuk mengagungkan hari Jumat.

Pak Sopir juga bercerita ketika mau boyong dari pondok diberi pesan oleh Gus Miek agar tidak lupa kirim hadiah fatihah kepada kiai dan guru-guru kiai. Amalan tersebut memang tabarukan dan biasa dilakukan oleh kalangan santri pondok pesantren bila ingin ilmunya barokah dan bermanfaat di masyarakat. Jenis wiridan ini juga dilakukan secara rutin oleh Pak Sopir setiap selesai sholat subuh. Siapa yang ingin meniru? Sumangga.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar