Senin, 23 Agustus 2010

Muhammadinu : Muhammadiyah – Nahdlatul Ulama

Saya tahu nama Prof. Dr. H. Imam Suprayogo dari artikel yang beliau tulis di web. Memang beliau menulis artikel setiap hari bakda sholat subuh. Dan ini menjadi amal intelektual yang beliau jalankan secara istikomah. Bahkan beliau pernah bilang kalau saya masih menulis artikel berarti pada hari itu saya masih hidup. Beliau adalah rector Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Beliau menjadi pimpinan PTAIN sudah cukup lama sekitar 12 tahun dalam empat kali pelantikan. Banyak pihak yang memuji atas keberhasilan beliau membawa UIN Maliki menjadi kampus yang disegani. Dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun berhasil membawa kampus ini berubah secara kelembagaan. Mulai dari STAIN-Universitas Islam Indonesia Sudan (UIIS)-lalu Universitas Islam Negeri Malang yang kemudian diberi nama UIN Maulana Malik Ibrahim. Ini dipandang sebagai lompatan yang tidak biasa. Sebagaimana Universitas Islam Negeri yang lain perubahannya dari bentuk institut baru ke universitas. Ini tidak dari sekolah tinggi menjadi universitas. Perubahan ini berimplikasi banyak mulai penyiapan sarana prasarana gedung, ma’had, dosen, budaya, manajemen dan lainnya.
Pada hari Sabtu, 21 Agustus 2010 saya dan Pak Haris ada acara ke kampus UIN Malang. Lalu berkesempatan bersilaturahim ke Pak Imam. Kami diterima dengan baik setelah wawancara dari salah satu stasiun televisi usai di gedung rektorat. Gedung rektorat UIN Malang berdiri dengan megahnya. Baru kali ini saya melihat gedung kampus Islam yang begitu menawan. Karena rata-rata kampus Islam swasta masih belum begitu menarik. Saya pertama kali masuk di gedung ini mengikuti perkuliahan Sosiologi Pendidikan Islam yang di asuh oleh Pak Rektor. Ruangannya luas, artistik, peralatan IT, ada koleksi buku, meja pimpinan, meja lobi, meja rapat dengan peserta cukup banyak. Sungguh megah, mengagumkan, seandainya semua kampus bisa seperti ini...—perkataan yang terbersit dalam hati.
Grapyap dan nguwongno. Ini kesan yang saya rasakan setelah beberapa kali bertemu beliau. Ramah, menyediakan waktu untuk konsultasi, tanpa membedakan siapa tamunya. Setelah tujuan bersilaturahim sudah disampaikan ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam pikiran. Karena ini kesan dari teman-teman. Yakni Pak Imam di katakan sebagai muhammadinu. Yang maksudnya menjadi anggota Muhammadiyah dan NU. Mendengar hal tersebut ternyata beliau malah tertawa. Dan bilang tidak apa-apa. Ternyata Pak Imam bukan anggota tetapi pengurus di organisasi masyarakat terbesar di negeri ini. Di Muhammadiyah beliau menjadi pengurus Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah pada periode sebelumnya. Sedang di NU menjadi mustasyar PCNU.lho, kok bisa seperti itu. Ya, memang begitu adanya.
Jika di runut memang beliau menjadi dosen dan pembantu rektor UMM selama 13 tahun. Dan termasuk yang membesarkan UMM mulai nol hingga menjadi seperti sekarang. Perguruan tinggi swasta besar yang disegani. Beliau mempunyai ciri khas sebagai orang Muhammadiyah diantaranya pekerja keras, ulet, manager ulung dalam bidang pendidikan. Sesuai dengan bidang garap Muhammadiyah yakni pendidikan, sosial dan dakwah. Tak ayal sudah ada ratusan perguruan tinggi muhammadiyah yang berdiri di negeri ini. Belum lagi sekolah mulai dari ABA, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK. Di dan di bidang sosial banyak berdiri rumah sakit, balai kesehatan, dan panti asuhan. Salah satu sentuhan tangan dingin beliau adalah Universitas Muhammadiyah Malang.
Sedang di NU, beliau dibesarkan keluarga Nahdliyyin. Bapaknya seorang kiai NU dan menjadi ketua MWC NU. Sedang ibunya ketua Muslimat NU. Dekat dengan kalangan pondok pesantren hampir seluruh Jawa Timur. Karenanya sering di minta memberi pengajian di pesantren-pesantren tersebut. Mulai dari Pesantren Termas Pacitan sampai di Guluk-Guluk Sumenep. Pernah juga memberi pengajian ketika haul di Kedinding Lor Surabaya acara thariqah yang di hadiri 300 ribu jamaah. Bila Habib Umar al-Hafid dari Yaman berkunjung ke Indonesia selalu berusaha menemui Pak Imam. Ciri sebagai orang NU juga beliau lakukan dengan baik Di rumah setiap malam Jumat selalu diadakan tahlil bersama yang dihadiri para tetangga sebanyak 80 orang.
Kemampuan seperti ini terbilang langka. Yang saya tahu, hanya Gus Dur yang bisa dalam hal komunikasi. Tidak dalam hal menjadi pengurus. Sehingga undangan ceramah, pengajian berasal dari kedua ormas ini. Beliau bilang mengapa kita terlalu fanatik terhadap perbedaan ritual ibadah. Memang yang membedakan kedua ormas adalah masalah ritual ibadah. Padahal kita tahu ibadah seseorang itu diterima atau tidak hanya Allah sendiri yang tahu. Sehingga hal tersebut tidak perlu diperdebatkan. Yang benar, dipersilahkan masing-masing untuk melakukan ritual ibadah yang diyakini benar. Karena sama-sama mempunyai dasar dan punya pemimpin yang melaksanakan.
Lebih lanjut beliau menambahkan sebenarnya Islam mengajarkan lima hal. Pertama, tilawah. Membaca, iqra. Membaca ayat qouliyah dan kauniyah. Seperti yang telah diwahyukan Allah pertama kali kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Kedua, penciptaan alam semesta ini. Alam semesta yang begitu luas dengan beragam isinya sebernya menjadi ibrah dan kita ditugasnya menjadi khalifah fil ardh. Berkewajiban untuk memanfaatkan dan memelihara alam ini. Agar bisa menjadi kemaslahatan bersama. Ketiga, kemaslahatan bersama dalam kehidupan. Empat, ritual ibadah. Dan terakhir adalah amal saleh. Selama ini yang diributkan kedua pengikut ormas ini adalah masalah ibadah ritual. Semisal kaifiyat sholat: doa kunut, jumlah rakaat sholat tarawih, baca dzikir sebelum dan sesudah sholat, sholat hari raya di lapangan dan lainnya. Dan sebenarnya ini adalah urutan nomor empat. Dan masalah khilafiyah lagi yang bila didiskusikan tidak akan selesai sampai nanti hari kiamat. Masih banyak pekerjaan besar yang menanti kita. Peningkatan sdm, ekonomi, kesejahteraan dll. Perlu pemikiran dan aksi.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar