Berbicara mengenai sekolah apalagi sekolah negeri berbeda kualitasnya dengan madrasah. Mulai dari input siswa, kompetensi guru dan tenaga kependidikan, kurikulum, sarana prasarana, dukungan anggaran pemerintah, dan anggapan masyarakat. Selama ini masih saja madrasah menerima siswa dari buangan sekolah. Bila tidak diterima di sekolah baru mendaftar di madrasah. Bahkan terkadang sebagai batu loncatan. Setelah diterima di madrasah selama satu semester pada semester berikutnya minta mutasi ke sekolah negeri. Dengan alasan jarak tempuh yang jauh dan lainnya. Sehingga input madrasah adalah sisa saringan atau sisa-sisa dari buangan terbaik sekolah.
Sedang kompetensi guru di madrasah masih belum terstandar dengan baik. Kebanyak masih kebanyakan dari alumni tarbiyah. Sehingga banyak yang mengajar pelajaran selain PAI. Alumni Drs., S.Ag. atau S.Pd.I. mengajar matematika, bahasa inggris, kertakes, bahasa indonesia, bahasa Jawa dan lainnya. Sehingga hasilnyapun kurang maksimal. Sedang tenaga kependidikannya atau lebih jelasnya sebagai tenaga tata usaha masih belum memenuhi kriteria standar. Kebanyakan masih lulusan madrasah aliyah atau yang sederajat. Sehingga dalam meningkatkan kinerja mereka perlu diikutkan diklat, pelatihan yang berkaitan dengan tenaga kependidikan.
Dalam masyarakat masih menganggap bahwa mutu madrasah masih di bawah standar. Input kemampuannya pas-pasan baik dari sisi latar belakang ekonomi orang tua bahkan nilai akademiknya dan outputnya juga tidak begitu bagus. Ini sudah berlangsung lama. Sedang sekolah dipandang serba cukup. Pandangan ini pernah dilontarkan oleh pimpinan pabrik guru di Nganjuk. Saya tercengang mendengarnya. Setelah saya dengar dan amati dengan seksama. Saya berkesimpulan bahwa ia bisa mengatakan seperti itu punya latar belakang pendidikan sekolah. Belum pernah mengenyam pendidikan di madrasah dan di pondok pesantren. Walau di panggil ustadz, saya melihat ia berasal dari didikan kegiatan keagamaan di kampus umum. Dan diperdalam sendiri secara otodidak. Yang membuat saya agak salut semangat dakwahya boleh juga. Terkadang kita yang punya ilmu agama dalam berdakwah merasa iri. Kembali lagi, masalah sekolah dan madrasah memang tidak bisa dibandingkan sebenarnya.
Madrasah dari awal berdirinya berasal dari ide masyarakat sebagai usaha untuk mencerdaskan anak bangsa. Bahkan dari kalangan pondok pesantren yang banyak mencurahkan ide ini. Sebagaimana diketahui dari sejarah Pondok Pesantren Tebuireng, Pesantren Denanyar, Pesantren Tambak Beras Jombang mempelopori berdirinya madrasah. Dimaksudkan sebagai pengejawantah dari sistem pesantren. Kemudian untuk mengikuti perkembangan di masyarakat di mana dibutuhkan keterampilan tertentu ditambahlan mata pelajaran lain selain agama. Maka ada pelajaran bahasa Inggris, matematika, ilmu bumi, dan keterampilan. Maka kurikulum disesuaikan tanpa menghilangkan substansi berdirinya madrasah. Dan seiring dengan diakuinya madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional kurikulum madrasah yang awalnya 100% pendidikan agama, berubah menjadi 70 %, lalu 30 % dan terakhir kemudian dengan keinginan agar alumni madrasah lebih berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka sekarang kurikulum madrasah 100 % sama dengan sekolah plus ilmu agama. Sehingga sekarang madrasah menjadi sekolah berciri khas agama Islam. Khasnya dengan ilmu agama yang lebih banyak. Meliputi Qur’an Hadits, Aqidah akhlak, sejarah kebudayaan Islam, fiqh, dan bahasa Arab. Ini berlaku sejak 1996. karena masih madrasah budaya pondok atau kultur Islami masih kental di sini. Sebagai usaha mengejawantahkan nilai-nilai Islam dalam keseharian. Memang di akui dari segi input siswa masih banyak yang belum terseleksi begitu juga mengenai sdm tenaga pendididikan dan kependidikan. Namun perlahan namun pasti Kementerian agama terus berbenah untuk mencapai standar itu. Bahkan di Nganjuk sudah dilakukan mutasi guru di tempatkan pada madrasah yang membutuhkan guru-guru sesuai spesifikasinya. Banyak guru madrasah yang sudah menyandang gelar magister. Ini tidak hanya di madrasah negeri, madrasah swastapun tidak mau ketinggalan. Apalagi guru-guru yang masih muda. Tahun lalu 2009 saya melihat data statistik di kementerian pendidikan nasional bahwa guru sekolah yang bergelar s3 ada sekitar 60 guru senusantara. Sedang di Nganjuk sebagai kabupaten kecil saja sejak tahun lalu sudah ada empat guru yang melanjutkan ke jenjang program doktor. Satu guru melanjutkan ke Universitas Negeri Surabaya mengambil spesifikasi pendidikan bahasa dan sastra sedang tiga lainnya mengambil konsentrasi dirosah islamiah ke IAIN Sunan Ampel Surabaya. Jumlah magister yang dipunyai sudah ada sekitar lima puluhan guru. Tersebar di madrasah negeri dan swasta dari tingkat madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah. Sebuah prestasi yang cukup membanggakan.
Seimbang dalam melihat madrasah dan sekolah perlu dipertegas. Melihat gambaran di atas harusnya masyarakat tidak memandang sebelah mata. Sangat jarang terdengar ketika lulusan ada siswa madrasah yang berpawai di jalan-jalan dengan suara knalpot yang meraung-raung memekakkan telinga yang mendengar. di corat-coret baju seragamnya dengan cat. Hampir di semua baju dari atas sampai bawah. Ini dilakukan siswa dan siswi. Bahkan- maaf- ada juga yang di tandatangani sampai pantat siswi. Ini bagaimana? Belum lagi siswa sekolah yang terindikasi narkoba, DO bahkan yang hamil diluar nikah. Saya mendengar hal ini sudah lumrah di sekolah bahkan ada sebuah sma negeri yang hampir tiap semester mengeluarkan siswinya karena hal tersebut. Begitu juga tidak terdengar siswa madrasah yang stres gara-gara lulus UN. Tetapi di sekolah bisa akan terjadi bunuh diri. Ini bisa terjadi karena belum persiapan mental sebelum ujian. Bahwa ikhtiar itu wajib namun hasil diserahkan kepada Allah. Jauh-jauh hari sudah disiapkan di madrasah. Selesai ujian semua siswa biasanya diundang ke masjid untuk menyatakan rasa syukur atas keberhasilan yang dicapai dengan sujud syukur bersama.
Perbedaan budaya dan karakter yang membedakan hasil lulusan. Budaya sekolah dibangun dari nilai-nilai “intelektual pragmatis”. Sedang madrasah budaya dan karakter Islami lebih ditekankan dengan senantiasa terus berbenah di segala lini.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar