QS al-Baqarah: 184
"Bulan Ramadhan turunnya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia untuk membedakan perkara yang benar dan salah. Barang siapa yang bertemu bulan Ramadhan maka berpuasalah".
Pada bulan Ramadhan, Allah menurunkan al-Qur’an. Wahyu yang pertama turun adalah surat al-Alaq ayat 1-5. yang diawali dengan ayat iqra. Bacalah. Padahal diketahui bahwa Kanjeng Nabi seorang ummi. Tidak bisa membaca dan menulis. Ada hikmah di sini untuk menunjukkan kepada orang yang tidak percaya pada al-Qur’an yakni para orientalis bahwa al-Qur’an memang bukan dibuat oleh Kanjeng Nabi. Nyatanya Nabi sendiri seorang ummi. Dan kitab suci ini memang dibuat oleh Allah, Tuhan semesta alam. Bahkan ditantang bagi orang yang tidak percaya, untuk membuat semisal al-Qur’an atau satu ayat saja. Kalau tidak bisa bisa meminta bantuan siapapun, bahkan makhluk lain kalau mampu. Maka tidak akan mampu. Karena memang ini kitab suci, kitab langit sebagai penyempurna dari kitab samawi sebelumnya yakni kitab Taurot, kitab Zabur, dan kitab Injil.
Sebagai hudan, petunjuk bagi manusia disini bukan berarti mushaf al-Qur’an yang ada cukup dipajang di ruang tamu sebagai tanda bahwa pemilik rumah adalah keluarga muslim. Sebagai jimat, barang siji dirumat namun tidak diapa-apakan. Hanya dibersihkan saja. Hingga sepuluh tahun tetap bersih, oleh karena tidak pernah disentuh ataupun di baca. Saya kira tidak cukup seperti itu. Sebagai petunjuk oleh karena diagungkan, ditempatkan pada tempat yang semestinya karena memang kitab suci memagangnya pun juga harus dalam keadaan suci. Lalu apalagi?
Yang kedua, setelah menempatkan pada tempata semestinya adalah belajar membaca. Membaca disini tentu saja harus ada gurunya. Harus tahu ilmunya sehingga tidak asal membaca. Harus tahu ilmu dan juga harus dibawah bimbingan guru al-Qur’an. Tidak pandang besar, kecil, tua, muda harus berusaha bisa membaca. Bagaimana bisa menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk kalau membaca saja tidak bisa. Pada waktu ke Surabaya awal tahun 2009, saya melihat ada seorang nenek yang belajar membaca al-Qur’an dibawah bimbingan seorang ustadz. Saya salut sekali. Masih ada keinginan untuk membebaskan diri dari buta huruf al-Qur’an. Lalu bagaimana kita? Sebelum terlambat kita juga berusaha untuk menirunya. Tidak ada kata terlambat. Saya lalu teringat, bagaimana sebuah rumah yang tidak berpenghuni dalam jangka waktu yang lama. Tentu saja akan ditempati oleh makhluk yang bukan semestinya. Begitu juga perumpamaan mulut kita. Bila tidak pernah membaca kalimah yang suci tentu saja akan mudah mengeluarkan kata-kata atau perkataan yang tidak semestinya, bisa berupa sholawat jawa, berkata jorok, menggunjing orang, memfitnah, menyakiti hati orang lain dan sebagainya. Bukankah hal itu sangat mudah sekali. Bukankah lidah tak bertulang, seperti lagu yang didendangkan oleh penyanyi. Maka sudah waktunya diri kita, anak cucu, saudara dan keluarga kita dibebaskan dari buta huruf dan membaca al-Qur’an.
Bila indeks pembangunan manusia menjadikan tolok ukur buta huruf dan tingkat pendidikan sebagai parameter seharusnya buta huruf membaca al-Qur’an juga dijadikan tolok ukur sebagai tolok ukur untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Bukankah mayoritas warga kita adalah muslim. Diharapkan dengan melek hal ini akan membawa dampak terhadap kehidupan. Karena sekali lagi kemiskinan tidak hanya disebabkan karena sedikitnya harta yang dimiliki. Disebabkan juga karena structural ekonomi yang dibentuk kebijakan pemerintah seperti sekarang ini juga karena memang ada warga yang menghendaki hidup seperti orang miskin dalam arti hidup sederhana. Miskin harta walaupun bermasalah namun tidak separah kalau warga terjangkit miskin iman, miskin akhlak dan miskin ilmu.
Selanjutnya, mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Tidak cukup kiranya hanya membaca terjemahnya saja. Sekarang ini ada program terjemah al-Qur’an. Banyak sekali kegiatan ini dilakukan di beberapa kota. Lantas apakah dengan terjemah bisa memahami isi dari kitab suci ini? Bisa diumpamakan dalam memasak sayur. Agar rasanya enak, apakah buah kelapa langsung dibuang sabutnya terus langsung dimasukkan panci sayur? Ternyata tidak. Kelapa yang sudah bersih dari sabut, batok kelapa dan kulit lalau diparut yang diambil santannya. Santan inilah sebenarnya makna al-Qur’an. Maka tidak cukup kiranya hanya membaca terjemah saja. Berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami tafsirnya.
Setelah membaca, memahami maksudnya maka selanjutnya adalah melaksanakan ajaran al-Qur’an. Gusti Kanjeng Nabi sudah berkata bila kita berpegang teguh pada al-Qur’an maka kita akan selamat dunia akhirat. Lalu apalagi mengapa kita tidak secepatnya menyandarkan tujuan hidup kita seperti yang diharapkan Kanjeng Nabi. Mengapa kita masih toleh kanan kiri dengan filosofi kehidupan orang lain yang belum tentu sesuai dengan hati nurani? Bukankah Islam adalah agama yang sangat lengkap ajarannya? Mari kita kembali.
Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar