Sekarang ini banyak sekolah yang menawarkan fasilitas lebih. Ada yang menawarkan kurikulum integrasi, tenaga pengajarnya, sarana prasaranya, bangunan fisik kelas, sarana labolatorium, bahasa pengantar, ekstra kurikuler yang lain dari yang ada dan sebagainya. Semuanya mengatakan lebih unggul dari yang lain.
Tawaran seperti di atas baik dan seharusnya seperti itu. Karena konsep fastabiqul aspeknya tidak terbatas. Berlomba-lomba dalam kebaikan. Sehingga sekolah sebagai jasa layanan pendidikan menyediakan jasa terbaik. Tinggal masyarakat pengguna akan memilih mana yang dianggap terbaik.
Dari semua promosi yang dilakukan apakah sesuai dengan kenyataan yang ada? Ini menjadi otokritik pelaku pendidikan. Jangan-jangan hanya untuk menarik minat masyarakat. Namun kenyataannya tidak. Maka disekitar kita bisa terlihat. Ada sekolah yang memberi label sekolah “plus”, “integral”, “terpadu”, “modern”, “alam”, “integratif” dan lainnya.
Adanya pelabelan tersebut sebenarnya menjadi semacam cambuk bagi dunia pendidikan. Yang berarti bahwa sekolah yang ada hanya seolah-seolah sekolah. Bisa saja gurunya kurang maksimal dalam mengajar, kurang semangat, manajemen sekolah tidak bergerak ke arah yang baik, sarana prasarana juga tidak bertambah alias apa adanya. Hanya yang ada ditawarkan terserah masyarakat mau daftar atau tidak. Karena merasa gaji guru sudah jelas akan cair tiap awal bulan sehingga tidak merasa perlu ada kreativitas dan inovasi untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Pokoknya guru mengajar tiap hari dan sesuai tupoksinya titik. Padahal seiring dengan program sertifikasi guru yang digulirkan pemerintah tujuan utamanya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan stimulus peningkatan kesejahteraan dengan ditambah satu kali gaji pokok tiap bulan. Dengan hal ini bisa saja seorang guru golongan IV/a tiap bulan menerima gaji Rp 7.500.000,00 sampai Rp 8.000.000,00. begitu fantastis. Tapi juga jangan heran ada juga upah guru SD non pns yang masuk enam hari selama seminggu hanya mendapat Rp 150.000,00 per bulan. Begitu juga masih ada guru sma non pns yang tiap jamnya hanya dihargai Rp 8.000,00. sehingga upah yang diterima berkisar antara Rp 150.000,00 sampai Rp 200.000,00.
Seiring dengan tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat maka masyarakat bisa memilih dan memilah mana sekolah yang benar-benar sesuai dengan kriteria yang dipilih. Bisa saja masyarakat complain atas layanan yang diterima kepada lembaga pelayanan konsumen. Seperi yang dialami oleh Prita Mulyasari.
Ada beberapa hal yang bisa digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih sekolah yang berkategori unggulan:
1. bagaimana cetak biru programnya. Sudah jelaskah visi, misi dan rencana strategis pengembangan sekolahnya?
2. keunggulan apa yang ditawarkan? Apakah manajemennya, sarana prasarananya, metode pembelajarannya, bahasa yang dikuasai, atau bahasa pengantarnya, atau juga mungkin budaya sekolahnya yang membentuk kepribadian peserta didik?
3. bisa juga digunakan sebagai bahan pertimbangan bagaimana asal input peserta didik, tenaga pendidiknya dan kurikulum yang ditawarkan. Lalu kalau mungkin bagaimana penjaminan mutunya (quality assurance).
Wallahu a’lam bi al shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar