Kamis, 29 Juli 2010

Belenggu Namimah

Ada cerita menarik yang bisa menggugah pemikiran akan akibat suatu sifat. Sifat ini tergolong kurang baik. Dan kalau bisa kita sebagai muslim berusaha dengan keras untuk menjauhi sifat ini. Namanya namimah atau dalam arti bahasa Jawa adalah adu-adu. Membuat cerita yang tidak benar dengan tujuan untuk mengadu domba, membuat keonaran di masyarakat. Ada satu pihak yang Ngileni (bahasa Jawa) pihak lain supaya tidak akur. Terjadi bentrok, permusuhan dan bisa menyebabkan pertumpahan darah. Saudara menjadi musuh dan sebagainya.
Di jaman tabi’in masih ada yang namanya perdagangan budak. Biasanya juga digelar di pasar mungkin sama sekarang dengan pasar hewan. Disitu dipajang budak-budak yang mau di jual. Dari sekian barang yang ditawarkan ada seorang budak yang masih muda, kekar ototnya, kelihatan juga baik perwajahannya. Kayaknya juga tidak ada cacat fisik yang membuatnya dijual oleh empunya. Ada seorang saudagar yang mendekati budak muda tersebut. Pemiliknya memberitahukan bahwa si budak bila dilihat dari fisiknya tidak diragukan kemampuan kerjanya karena berotot kuat. juga tidak ada cacat yang kelihatan. Namun dia juga mengungkapkan bahwa ada satu cacatnya yakni suka adu-adu. Pembeli sang saudagar itu tetap membelinya. Karena ia menganggap hal itu sepele. Dan bisa diatasi. Yang penting ia bisa bekerja dengan baik.
Selang beberapa hari setelah berkumpul di keluarga saudagar itu. Mulailah ia berulah. Dengan mendekati si isteri saudagar. Ia bercerita dengan sangat meyakinkan bahwa si saudagar itu sudah tidak mencintai isterinya. Ia mendengar beberapa kali bahwa si saudagar akan menikah lagi dengan perempuan lain. Oleh karena penasaran si isteri saudagar bertanya bagaimana caranya agar sang suami tidak berpaling darinya. Si budak dengan muka penuh kemenangan membisiki bahwa juragan perempuannya ini harus memotong rambut yang ada di leher suaminya ketika tidur. Hasil potongan itu akan dibuat guna-guna oleh si budak.
Lalu si budak ini mendekati majikannya. Dengan langkah tergopoh-gopoh di bilang bahwa ada bahaya yang mengancam majikannya. “ada apa wahai budak”, kata si saudagar. Kemudian si budak menjelaskan bahwa isteri majikannya sudah tidak setia lagi padanya. Sebagai buktinya majikan di suruh untuk berpura-pura untuk tidur dengan ngorok. Betul. Karena ingin membuktikan berita yang diberikan budaknya, majikan lalu melakukannya. Dengan berpura-pura tidur seperti biasanya mengendap-endaplah sang isteri mendekatinya dengan membawa pisau kecil. Sebelum si isteri melakukan niatnya, digoroklah leher isterinya hingga tewas.
Gemparlah keluarga kedua belah pihak. Keluarga si isteri tidak terima. Familinya hanya digunakan untuk latihan menyembelih binatang. Dengan mengerahkan seluruh keluarga besarnya dihajarlah beramai-ramai saudagar itu hingga mati. Bertepuk kegirangan sang budak akan akal bulusnya.
Dalam dunia tenung, untuk mengguna-gunai seorang laki-laki biasanya digunakan rambut pemiliknya. Beda dengan perempuan, biasanya menggunakan pakaian dalamnya. Bisa berupa BH atau celana dalamnya. Pernah suatu ketika, seorang mahasiswa dihajar ramai-ramai oleh warga masyarakat karena mengambil pakaian dalam yang sedang dijemur. Setelah diinterograsi ternyata barang bukti itu akan digunakan untuk mengguna-gunai pemiliknya.
Itulah cerita singkat akan bahaya dari namimah atau adu-adu yang sekarang bisa dikategorikan dengan provokator. Kejadian seperti di atas banyak terjadi di sekitar kita. Di organisasi kemasyarakatan, di partai politik, di pabrik, di birokrasi, di sekolah, di madrasah bahkan dalam rumah tangga. Gara-gara SMS, suami isteri bisa bercerai. Ini diungkap dari banyaknya gugat cerai oleh isteri di Pengadilan Agama Nganjuk.
Dalam meraih apa yang diinginkan ada individu atau pihak yang menghalalkan segala macam cara untuk meraihnya. Diantaranya dengan jalan namimah. Kita masih ingat tahun 1998 pada tanggal 13-15 Maret. Terjadi penjarahan besar-besaran pada toko-toko di Jakarta yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menangkalnya? Dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa bila menerima suatu kabar atau info kita tidak boleh percaya 100%. Perlu tabayyun atau klarifikasi dulu dengan yang bersangkutan. Atau pihak-pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Lalu baru bisa dibuat pertimbangan untuk melangkah selanjutnya. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar