Ada hal menarik yang bisa saya petik ketika membaca cerpen di Bacaan al-Qur’an untuk Simbah. Karya salah seorang aktivis PW IPPNU Jawa Tengah. Bangga juga, ternyata anak muda NU banyak juga tulisannya bagus dan terkenal. Lebih salut lagi disela-sela kuliah dan aktivitas organisasi masih meluangkan waktu untuk menghasilkan karya yang monumental. Dan itulah karya sastra sebagian santri pondok pesantren.
Diceritakan ada seorang simbah putri yang sangat perhatian akan perkembangan cucunya. Sering ketika menjelang tidur, simbah menceritakan kisah-kisah sufi perempuan, para pahlawan perempuan Islam yang masyhur di kalangan pondok. Ada keinginan kuat di hati simbah bahwa seorang anak perempuan haruslah menjadi dirinya sendiri yang kuat, bisa beraktualisasi diri, mandiri, bisa berjuang untuk agama dan bangsanya tetapi tetap feminim. Tanpa melupakan sebagai seorang perempuan.
Simbah juga mendidik cucunya dengan kegiatan keagamaan yang ketat. Pagi waktunya sekolah, sore belajar di madrasah diniyah, setelah sholat magrib di mushola dekat rumah dengan berjamaah dilanjutkan dengan mengaji al-Qur’an dan bisa makan malam serta belajar dirumah setelah sholat isya di mushola. Ini berlangsung lama. Dalam ilmu pendidikan hal tersebut dikenal dengan nama pembiasaan. Atau bisa juga disebut sebagai budaya keagamaan di rumah sebagai upaya pembentukan perilaku anak. Dan ini sangat baik bagi perkembangan jiwa anak. Dimana orang tua memberi teladan, perilaku yang baik lalu dicontoh anak dan cucunya. Atau juga bisa dikenal dengan modelling.
Dari perilaku simbah yang baik dan bisa dicontoh. Beliau senantiasa sholat berjamaah di mushola. Tiap ahad mengikuti khataman al-Qur’an di mushola lalu sehabis mengajar ngaji di mushola sambil menunggu jamaah sholat isya’ membaca manaqib Syeh Abdul Qodir al-Jilani. Dilihat dari ini banyak alumni pesantren yang mengamalkan hal tersebut. Walau dilihat termasuk ibadah ritual, namun baik juga dilakukan sebagai pengisi waktu yang bermanfaat dan mendapatkan barokah sebagai pedoman kehidupan.
Simbah juga berusaha sekat-sekat patriakhi. Dengan mengajarkan membaca manaqib Syeh Abdul Qadir al-Jilani kepada cucu perempuannya. Sebagaimana umum terjadi bahwa membaca manaqib menjadi monopoli anak laki-laki. Sehingga sangat jarang perempuan yang mengamalkannya. Proses pembentukan jiwa melalui pembiasaan kegiatan agama dirumah tampak membuahkan hasil. Cucunya menjadi sosok perempuan tangguh dengan aktif di organisasi dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi umum dengan masih menjalankan ritual agama yang sudah dilakukan sejak kecil. Tanpa meninggalkan keanggunan sebagai perempuan.
Hal yang menarik terjadi. Di akhir hidupnya, Simbah sakit parah dan dirawat di rumah sakit. Si cucu tercinta disuruh pulang. Setelah bertemu dengan Simbah di ruang ICU, dalam hati sangat merasa sayang dengan Simbah. Hingga berjanji dalam hati akan senantiasa mendawamkan apa yang diwejangkan olehnya diantaranya puasa senin kamis, membaca manaqib, mendaras al-Qur’an dan membaca sholawat sepuluh kali bakda sholat maktubah. Karena peluang bertahan hidup mengecil, maka dibawa pulang ke rumah. Seiring selesainya bacaan al-Qur’an 30 juz di mushola dekat rumah dan bacaan manaqib sang cucu setelah sholat ashar Simbah menghembuskan nafas terakhir dengan tenang dan senyum manis. Tidak biasanya Simbah senyum seperti itu. Kelihatan tanda kebahagiaan terpancar dari muka Simbah.
Ternyata perilaku keseharian akan berimbas ketika kontrak hidup berakhir. Bila selama hidup banyak perbuatan baik dilakukan maka akan terlihat ketika di akhir hidupnya. Begitu juga sebaliknya. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar