Sabtu, 06 Agustus 2016

Mengurus Lembaga Pendidikan dengan Kesungguhan

Suatu saat saya bertemu dengan praktisi pendidikan. Sebut saja namanya Pak Muslimin. Sekarang menjadi pengawas di sebuah kota kecil di nganjuk. Dan sebentar lagi beliau akan mengakhiri masa tugasnya.
Berbicara mengenai pendidikan dengan beliau memang tidak ada habisnya. Enak dan mengasyikkan. Apalagi membicarakan bagaimana lembaga yang dikelola bisa tumbuh besar. Memang hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola.
Bagi lembaga pendidikan yang berstatus negeri sekilas kelihatan sudah mapan. Gedung sudah disiapkan, gaji gaji dari negara, kurikulum, administrasi, jenjang karier sudah jelas. Karena semuanya diatur oleh pemerintah.
Namun berbeda dengan lembaga partikelir (ini kosakata lama), swasta. Inisiasi dari masyarakat sebagai bentuk jihad untuk meningkatkan tingkat pendidikan warganya. Diharapkan dengan lembaga yang dekat secara jarak dengan masyarakat maka tingkat partisipasi pendidikan akan mudah. Ini teorinya. Semua harus disiapkan oleh masyarakat. Makanya ada lembaga pendidikan yang sudah standar namun masih banyak yang belum.
Dulu memang penyebaran lembaga pendidikan belum merata. Adanya sekolah negeri hanya di kota kecamatan. Itu tingkat SMP dan SMA. Sedangkan sekolah dasar negeri sudah hampir merata dengan adanya program SD Inpres. Sebagai contoh di desa saya Pisang Patianrowo sejak tahun 80an sudah berdiri tiga SD negeri.
Perjuangan pengelola pendidikan swasta memang luar biasa. Mulai dari penyiapan manajemen, gedung, SOP, administrsi, rekrutmen guru dan siswa. hal tersebut tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disamping waktu, tenaga, dan fikiran yang dicurahkan. Awalnya hanya sebagai bentuk pengabdian. Merasa mempunyai ilmu yang diterima, lalu ingin mengamalkan.
Filosofi ini atau lebih bisa dikatakan sebagai pegangan hidup menjadi patokan sebagian besar santri. Saya masih ingat pesan dari Kiai Ghozali Kholil Pandanasri Aallahuyarham sewaktu mengaji. Beliau memberi nasehat kepada para santri agar bila sudah pulang ke rumah untuk mengamalkan ilmunya. Tidak harus banyak santrinya. Bahkan bila tidak mempunyai santri dinding rumah dan  tiang kayu bisa saja diajari. Intinya mengaji atau menyebarkan ilmu bisa terus.
Dibalik itu semua ada hikmah yakni tersebarnya ilmu. Begitu juga bila hal tersebut dilakukan oleh banyak orang dari berbagai alumni lembaga pendidikan. Wah, begitu dahsyatnya. Bisa-bisa mengalahkan program Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Bedanya program ini dimanage dengan baik. Sedangkan yang disebutkan dimuka tadi masih banyak dilakukan secara individual.
Menurut hasil penelitian kebanyakan lembaga pendidikan, apalagi swasta belum berstandar nasional. Jumlahnya lebih banyak dibanding yang sudah berstandar apalagi di atas standar. Masih bisa dihitung dengan jari.
Untuk mengejar itu semua tentunya dalam mengelola ada standarnya. Bisa sebagai acuan awal adalah mengacu pada 8 standar pendidikan. Pada tahap awal lembaga pendidikan perlu meraih hal tersebut.
Kesungguhan dari pengelola dan seluruh stakeholder sebagai penentu. Pengelola berperan menggerakkan semuanya. Maka panduan siapa jati diri dengan evaluasi diri madrasah. Dari modal materi dan modal sosial akan bisa melangkah untuk melengkapi dan menyempurnakan yang kurang.
Lalu acuan rencana kerja madrasah juga perlu disusun untuk menentukan skala prioritas. Tentu saja ditentukan dengan kemampuan yang dimiliki. Ada keyakinan yang perlu ditumbuhkembangkan yakni bila ada kemauan pasti ada jalan. Seberapa banyak hambatan dan tantangan yang dihadapi namun bila bisa bekerjasama dengan berbagai pihak maka akan bisa diselesaikan. Tentu saja berharap rida dan inayah Allah. Wallahu a’lam bi al shawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar