Suatu saat saya bertemu
dengan praktisi pendidikan. Sebut saja namanya Pak Muslimin. Sekarang menjadi
pengawas di sebuah kota kecil di nganjuk. Dan sebentar lagi beliau akan
mengakhiri masa tugasnya.
Berbicara mengenai
pendidikan dengan beliau memang tidak ada habisnya. Enak dan mengasyikkan.
Apalagi membicarakan bagaimana lembaga yang dikelola bisa tumbuh besar. Memang
hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola.
Bagi lembaga pendidikan
yang berstatus negeri sekilas kelihatan sudah mapan. Gedung sudah disiapkan,
gaji gaji dari negara, kurikulum, administrasi, jenjang karier sudah jelas.
Karena semuanya diatur oleh pemerintah.
Namun berbeda dengan
lembaga partikelir (ini kosakata lama), swasta. Inisiasi dari masyarakat
sebagai bentuk jihad untuk meningkatkan tingkat pendidikan warganya. Diharapkan
dengan lembaga yang dekat secara jarak dengan masyarakat maka tingkat
partisipasi pendidikan akan mudah. Ini teorinya. Semua harus disiapkan oleh
masyarakat. Makanya ada lembaga pendidikan yang sudah standar namun masih
banyak yang belum.
Dulu memang penyebaran
lembaga pendidikan belum merata. Adanya sekolah negeri hanya di kota kecamatan.
Itu tingkat SMP dan SMA. Sedangkan sekolah dasar negeri sudah hampir merata
dengan adanya program SD Inpres. Sebagai contoh di desa saya Pisang Patianrowo
sejak tahun 80an sudah berdiri tiga SD negeri.
Perjuangan pengelola
pendidikan swasta memang luar biasa. Mulai dari penyiapan manajemen, gedung, SOP,
administrsi, rekrutmen guru dan siswa. hal tersebut tentunya membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Disamping waktu, tenaga, dan fikiran yang dicurahkan.
Awalnya hanya sebagai bentuk pengabdian. Merasa mempunyai ilmu yang diterima,
lalu ingin mengamalkan.
Filosofi ini atau lebih
bisa dikatakan sebagai pegangan hidup menjadi patokan sebagian besar santri.
Saya masih ingat pesan dari Kiai Ghozali Kholil Pandanasri Aallahuyarham sewaktu
mengaji. Beliau memberi nasehat kepada para santri agar bila sudah pulang ke
rumah untuk mengamalkan ilmunya. Tidak harus banyak santrinya. Bahkan bila
tidak mempunyai santri dinding rumah dan tiang kayu bisa saja diajari. Intinya mengaji
atau menyebarkan ilmu bisa terus.
Dibalik itu semua ada
hikmah yakni tersebarnya ilmu. Begitu juga bila hal tersebut dilakukan oleh
banyak orang dari berbagai alumni lembaga pendidikan. Wah, begitu dahsyatnya.
Bisa-bisa mengalahkan program Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Bedanya
program ini dimanage dengan baik. Sedangkan yang disebutkan dimuka tadi masih
banyak dilakukan secara individual.
Menurut hasil penelitian kebanyakan
lembaga pendidikan, apalagi swasta belum berstandar nasional. Jumlahnya lebih banyak
dibanding yang sudah berstandar apalagi di atas standar. Masih bisa dihitung
dengan jari.
Untuk mengejar itu semua
tentunya dalam mengelola ada standarnya. Bisa sebagai acuan awal adalah mengacu
pada 8 standar pendidikan. Pada tahap awal lembaga pendidikan perlu meraih hal
tersebut.
Kesungguhan dari
pengelola dan seluruh stakeholder sebagai penentu. Pengelola berperan
menggerakkan semuanya. Maka panduan siapa jati diri dengan evaluasi diri
madrasah. Dari modal materi dan modal sosial akan bisa melangkah untuk
melengkapi dan menyempurnakan yang kurang.
Lalu acuan rencana kerja
madrasah juga perlu disusun untuk menentukan skala prioritas. Tentu saja
ditentukan dengan kemampuan yang dimiliki. Ada keyakinan yang perlu
ditumbuhkembangkan yakni bila ada kemauan pasti ada jalan. Seberapa banyak
hambatan dan tantangan yang dihadapi namun bila bisa bekerjasama dengan
berbagai pihak maka akan bisa diselesaikan. Tentu saja berharap rida dan inayah
Allah. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar