Minggu, 10 April 2016

Secangkir Kopi

“Mbok, 2 kopi. Satunya gulanya sedikit”, pesenku kepada Mbok Tun pemilik warung kopi langgananku. Waktu istirahat dari mengajar ada jeda waktu 20 menit. Bila suntuk dan pagi belum menyruput kopi biasanya saya lalu pergi ke warung kopi. Penggemar kopi di madrasah lumayan banyak. Dari 10 guru laki-laki hanya sedikit yang tidak doyan kopi. Selainnya penggemar kopi walaupun minimal secangkir/hari.
Ternyata tidak semua penggemar kopi sejalan tegak lurus dengan ahlul hisap, “merokok”. Saya termasuk mengikuti madzab ini. dulu sewaktu mengaji di pesantren tidak ngopi. Namun setelah di rumah mertua dikenalkan minum kopi susu. Biar giat bekerja, kira-kira begitu maksudnya. Wkwkwk.
Saya memesan dua cangkir kopi untuk saya dan senior saya, pak zam. Dalam masalah kopi beliau termasuk ahlinya. Bahkan bila warung tutup beliau tetap bisa minum kopi di kantor. Karena membawa sendiri “kopi istimewa dan gulanya” dari rumah. Jadi di manapun masih bisa ngopi.
Ada yang beda dari teman-teman. Pak Zam, minum kopi dengan gula sedikit. Dari pengalaman beliau selama ini alhamdulillah tidak ada keluhan dengan kesehatan. Mungkin inilah kelebihan minum kopi dengan rendah gula. Namun bagi saya terlalu pahit. Walau juga tidak suka terlalu manis.
Warung Mbok Tun terletak sekitar 300 meter dari tempat kerja. Dengan sepeda motor cepat saja tidak sampai lima menit. Dengan ditemani secangkir kopi pembicaraan menjadi gayeng. Bahkan seharianpun jadi kuat.
Dilihat dari sisi usia, saya jauh di bawah beliau. Saya senang bila bertanya tentang kehidupan secara umum. Misalnya kehidupan sebagai pns, sebagai kepala keluarga, mengasuh anak, khitmah di masjid, hobi dan lainnya.
Kehidupan sebagai guru pns memang perlu disyukuri. Bila dibanding dengan guru non pns. Ini perlu ditulis sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diterima. Karena masih banyak teman sepermainan yang belum bekerja, atau bekerja namun beliau sesuai passionnya. Bahkan ada menjadi guru namun masih berstatus guru yayasan.
Memang disadari rizki tidak dari satu tempat. Dalam arti pns pasti kaya. Rasanya kok tidak. Hanya mungkin yang diidam-idamkan orang adalah jaminan kesehatan, jaminan hari tua, dan sejenisnya. Disisi lain juga ada teman guru yang sebelumnya belum pns namun sudah membeli tanah dan membangun rumah lantai dua. Bila tanya mobil, ia sudah lama memiliki. Karena selain mengajar, ia juga berbisnis buku.
Ternyata prinsip bersyukur ini yang penting. Menerima apa yang ada lalu ditasyarufkan sesuai peruntukannya. Memenuhi kebutuhan keluarga yang dasar adalah kewajiban pokok. Kebutuhan pangan, sandang dan papan tidak terelakkan menjadi prioritas. Juga pendidikan dan kesehatan anggota keluarga. Tidak enak rasanya, bila ada tamu atapnya bocor di sana-sini. Semoga saja tidak.
Diantara obrolan yang masih berkesan diantaranya adalah mengajari anak berbahasa Jawa. Teori berbahasa adalah praktek. Begitulah kiranya aplikasi di kursusan bahasa. Walaupun mengucapkan salah secara bunyi dan tata bahasa namun harus praktek. Begitulah berbahasa Jawa. Walaupun diajarkan sejak kelas 1 sampai tingkat MTs misalnya namun hanya di kelas saja kapan membekasnya?
Saya pernah survey acak siswa di kelas yang berbahasa Jawa di rumah. Hasilnya cukup membuat kita geleng-geleng.  Sangatlah sedikit yang berbahasa Jawa krama dengan orang tuanya. Banyak hal menjadi penyebabnya. Karena malu, tidak mendapat uswah dari orang tua, orang tua berbahasa Indonesia, dan tidak bisa. Namun yang aneh dan jawaban terbanyak adalah malu bila berbahasa krama dengan orang tua. Lha, ini ada apa?
Salah satu tanda birrul walidain adalah adalah berbahasa Jawa krama dengan orang tua. Ini versi saya lho. Mengapa demikian karena sederhana saja. Orang tua telah mengasuh, mendidik kita sejak masa kehamilan hingga beliau menutup mata. Beliau berdua tidak lelah untuk berdoa dan berbuat terbaik untuk kita, anaknya. Lalu balasan apa yang bisa kita kerjakan?
Yang jelas beliau tidak meminta apapun dari kita. Hanya kesejahteraan dan kebahagiaan kita. Beliau rela bekerja keras membanting tulang untuk kebaikan kita saja. Hanya ingin melihat kita lebih baik keadaannya dari beliau berdua.
Ada sedikit yang bisa kita tunjukkan kepada mereka diantaranya akhlak kita yang baik. Dengan diantaranya berbuat baik dan bertutur kata dengan berbahasa Jawa krama. Ada rasa nyes, bila mendengar seorang anak yang bisa runtut berbahasa Jawa krama dengan orang tuanya. Saya merasa inilah tanda-tanda anak yang saleh.
Karena kesalehan yang tampak berasal dari ilmu yang dipraktekkan. Bisa seperti itu karena orang tua memberi contoh dalam hidup keseharian. Bisa juga ketika di pondok pesantren praktek ini dilakukan terus menerus. Mengaji kitab kuning dengan aksara Jawa Pegon dan bahasa Jawa. Berkomunikasi dengan kiai, bu nyai, guru, kakak senior selalu juga dengan bahasa Jawa krama. Maka jadilah bahasa ini menjadi kebiasaan. Ketika di rumah secara otomatis akan terbentuk dengan sendirinya. Apalagi motivasi dari kitab ta’lim muta’allim bagi pembentukan santri berkarakter.
Sangat disadari bahwa ada hal yang kurang dalam keluarga kita. Iklim yang memungkinkan orang tua memberi uswah dalam berbahasa Jawa krama. Karena dalam bahasa ini ada unggah ungguh kedudukan orang perorang. Orang tua atau orang yang lebih tua dipanggil dengan jenengan. Orang di atas kita sedikit dipanggil dengan sampeyan. Bila kedudukannya setara cukup dengan kowe.
Dari sisi ini saja ada rasa penghormatan. Coba kalau kita berbahasa Indonesia. hal ini tidak ada. Misalnya seorang anak berkomunikasi dengan orang tuanya tentang masalah mata. Si anak akan matur dengan halus, “Nyuwun sewu. Suco Jenengan, Pak!’. Tapi coba kalau anak memakai bahasa Indonesia dalam keseharian? Kira-kira bagaimana bunyinya....anda sendiri bisa menebaknya.
Jadi ada nilai-nilai penghormatan kepada yang lebih tua dalam bahasa Jawa. Lha, kita yang mengaku orang Jawa bila tidak nguri-nguri budaya kita lalu siapa? Jangan-jangan nanti kita dikatakan ‘ora Jawa’. Duh, sakit banget jadinya. Untungnya budaya pondok pesantren salafiyah masih kental dengan nuansa ini. benarlah kiranya pondok pesantren adalah lembaga pendidikan genuine Indonesia. maka perlu sangat didukung ‘gerakan ayo mondok”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar