“Mbok, 2 kopi. Satunya
gulanya sedikit”, pesenku kepada Mbok Tun pemilik warung kopi langgananku. Waktu
istirahat dari mengajar ada jeda waktu 20 menit. Bila suntuk dan pagi belum
menyruput kopi biasanya saya lalu pergi ke warung kopi. Penggemar kopi di
madrasah lumayan banyak. Dari 10 guru laki-laki hanya sedikit yang tidak doyan
kopi. Selainnya penggemar kopi walaupun minimal secangkir/hari.
Ternyata tidak semua
penggemar kopi sejalan tegak lurus dengan ahlul hisap, “merokok”. Saya termasuk
mengikuti madzab ini. dulu sewaktu mengaji di pesantren tidak ngopi. Namun
setelah di rumah mertua dikenalkan minum kopi susu. Biar giat bekerja,
kira-kira begitu maksudnya. Wkwkwk.
Saya memesan dua cangkir
kopi untuk saya dan senior saya, pak zam. Dalam masalah kopi beliau termasuk
ahlinya. Bahkan bila warung tutup beliau tetap bisa minum kopi di kantor.
Karena membawa sendiri “kopi istimewa dan gulanya” dari rumah. Jadi di manapun
masih bisa ngopi.
Ada yang beda dari
teman-teman. Pak Zam, minum kopi dengan gula sedikit. Dari pengalaman beliau
selama ini alhamdulillah tidak ada keluhan dengan kesehatan. Mungkin inilah
kelebihan minum kopi dengan rendah gula. Namun bagi saya terlalu pahit. Walau
juga tidak suka terlalu manis.
Warung Mbok Tun terletak
sekitar 300 meter dari tempat kerja. Dengan sepeda motor cepat saja tidak
sampai lima menit. Dengan ditemani secangkir kopi pembicaraan menjadi gayeng.
Bahkan seharianpun jadi kuat.
Dilihat dari sisi usia,
saya jauh di bawah beliau. Saya senang bila bertanya tentang kehidupan secara
umum. Misalnya kehidupan sebagai pns, sebagai kepala keluarga, mengasuh anak,
khitmah di masjid, hobi dan lainnya.
Kehidupan sebagai guru
pns memang perlu disyukuri. Bila dibanding dengan guru non pns. Ini perlu
ditulis sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diterima. Karena masih
banyak teman sepermainan yang belum bekerja, atau bekerja namun beliau sesuai
passionnya. Bahkan ada menjadi guru namun masih berstatus guru yayasan.
Memang disadari rizki
tidak dari satu tempat. Dalam arti pns pasti kaya. Rasanya kok tidak. Hanya
mungkin yang diidam-idamkan orang adalah jaminan kesehatan, jaminan hari tua,
dan sejenisnya. Disisi lain juga ada teman guru yang sebelumnya belum pns namun
sudah membeli tanah dan membangun rumah lantai dua. Bila tanya mobil, ia sudah
lama memiliki. Karena selain mengajar, ia juga berbisnis buku.
Ternyata prinsip bersyukur
ini yang penting. Menerima apa yang ada lalu ditasyarufkan sesuai
peruntukannya. Memenuhi kebutuhan keluarga yang dasar adalah kewajiban pokok.
Kebutuhan pangan, sandang dan papan tidak terelakkan menjadi prioritas. Juga
pendidikan dan kesehatan anggota keluarga. Tidak enak rasanya, bila ada tamu
atapnya bocor di sana-sini. Semoga saja tidak.
Diantara obrolan yang
masih berkesan diantaranya adalah mengajari anak berbahasa Jawa. Teori
berbahasa adalah praktek. Begitulah kiranya aplikasi di kursusan bahasa.
Walaupun mengucapkan salah secara bunyi dan tata bahasa namun harus praktek.
Begitulah berbahasa Jawa. Walaupun diajarkan sejak kelas 1 sampai tingkat MTs
misalnya namun hanya di kelas saja kapan membekasnya?
Saya pernah survey acak
siswa di kelas yang berbahasa Jawa di rumah. Hasilnya cukup membuat kita
geleng-geleng. Sangatlah sedikit yang
berbahasa Jawa krama dengan orang tuanya. Banyak hal menjadi penyebabnya.
Karena malu, tidak mendapat uswah dari orang tua, orang tua berbahasa
Indonesia, dan tidak bisa. Namun yang aneh dan jawaban terbanyak adalah malu
bila berbahasa krama dengan orang tua. Lha, ini ada apa?
Salah satu tanda birrul
walidain adalah adalah berbahasa Jawa krama dengan orang tua. Ini versi saya
lho. Mengapa demikian karena sederhana saja. Orang tua telah mengasuh, mendidik
kita sejak masa kehamilan hingga beliau menutup mata. Beliau berdua tidak lelah
untuk berdoa dan berbuat terbaik untuk kita, anaknya. Lalu balasan apa yang
bisa kita kerjakan?
Yang jelas beliau tidak
meminta apapun dari kita. Hanya kesejahteraan dan kebahagiaan kita. Beliau rela
bekerja keras membanting tulang untuk kebaikan kita saja. Hanya ingin melihat
kita lebih baik keadaannya dari beliau berdua.
Ada sedikit yang bisa
kita tunjukkan kepada mereka diantaranya akhlak kita yang baik. Dengan
diantaranya berbuat baik dan bertutur kata dengan berbahasa Jawa krama. Ada
rasa nyes, bila mendengar seorang anak yang bisa runtut berbahasa Jawa krama
dengan orang tuanya. Saya merasa inilah tanda-tanda anak yang saleh.
Karena kesalehan yang
tampak berasal dari ilmu yang dipraktekkan. Bisa seperti itu karena orang tua
memberi contoh dalam hidup keseharian. Bisa juga ketika di pondok pesantren
praktek ini dilakukan terus menerus. Mengaji kitab kuning dengan aksara Jawa
Pegon dan bahasa Jawa. Berkomunikasi dengan kiai, bu nyai, guru, kakak senior
selalu juga dengan bahasa Jawa krama. Maka jadilah bahasa ini menjadi
kebiasaan. Ketika di rumah secara otomatis akan terbentuk dengan sendirinya.
Apalagi motivasi dari kitab ta’lim muta’allim bagi pembentukan santri
berkarakter.
Sangat disadari bahwa ada
hal yang kurang dalam keluarga kita. Iklim yang memungkinkan orang tua memberi
uswah dalam berbahasa Jawa krama. Karena dalam bahasa ini ada unggah ungguh
kedudukan orang perorang. Orang tua atau orang yang lebih tua dipanggil dengan
jenengan. Orang di atas kita sedikit dipanggil dengan sampeyan. Bila
kedudukannya setara cukup dengan kowe.
Dari sisi ini saja ada
rasa penghormatan. Coba kalau kita berbahasa Indonesia. hal ini tidak ada. Misalnya
seorang anak berkomunikasi dengan orang tuanya tentang masalah mata. Si anak
akan matur dengan halus, “Nyuwun sewu. Suco Jenengan, Pak!’. Tapi coba kalau
anak memakai bahasa Indonesia dalam keseharian? Kira-kira bagaimana
bunyinya....anda sendiri bisa menebaknya.
Jadi ada nilai-nilai
penghormatan kepada yang lebih tua dalam bahasa Jawa. Lha, kita yang mengaku
orang Jawa bila tidak nguri-nguri budaya kita lalu siapa? Jangan-jangan nanti
kita dikatakan ‘ora Jawa’. Duh, sakit banget jadinya. Untungnya budaya pondok
pesantren salafiyah masih kental dengan nuansa ini. benarlah kiranya pondok
pesantren adalah lembaga pendidikan genuine Indonesia. maka perlu sangat
didukung ‘gerakan ayo mondok”.
Wallahu a’lam bi al
shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar