Senin, 18 April 2016

Demam Panggung

dok. google.co.id
Demam dalam bahasa Jawa (ngregesi), panas dingin, tidak enak badan. Bila melakukan suatu pekerjaan tidak bisa maksimal karena sakit. Bila kata demam dikaitkan dengan panggung berarti ketika tampil di panggung kurang bisa maksimal karena ada sesuatu hal yang menghalangi.
Panggung di depan kelas dan panggung atau podium di depan khalayak adalah hal yang berbeda. Seorang guru misalnya setiap hari berhadapan dengan murid. Ketika menyampaikan materi pelajaran adalah hal yang biasa. Karena sudah menjadi pekerjaan rutin selama bertahun-tahun. Tidak ada kendala sama sekali.
Hal ini bisa dimaklumi karena mungkin selama ini tidak ada komplain atau evaluasi atau supervisi atas pembelajaaran yang dilakukan. Sehingga metode ceramah dari tahun pertama sampai tahun kesekian tetap. Padahal peserta didik sudah berganti tiap tahun. Bahkan sekarang juga sudah menjadi temannya, sesama guru.
Diperparah lagi ada ungkapan, “Saya ajar seperti ini saja siswa menjadi orang”. Ngapain capek-capek. Ikut workshop, pelatihan K13, walah tetap diikuti saja sebagai kewajiban. Mengenai implementasi nanti dulu. Ini sebagian kecil celotehan yang didengar di warung kopi. Tentunya masih banyak guru yang masih memegang prinsip sebagai sosok guru. Guru yang digugu dan ditiru.
Di lapangan teman guru yang sudah senior belum tentu berani untuk berdiri di depan podium. Misalnya menjadi inspektur upacara, mewakili sambutan kepala madrasah, mc rapat dinas, khutbah hari raya, memberi ceramah peringatan hari besar Islam dan sejenisnya. Yang jelas ini kasuistis. Masih banyak yang bertanggungjawab atas tugas yang diberikan. Itupun tidak di sini namun di sana luar pulau Jawa mungkin.
Alibi yang dikemukakan tidak bisa, sibuk, yang muda saja masih banyak, sakit dan masih banyak lagi. Bahkan ada juga yang mengancam tidak akan hadir. Yang lucu juga adalah meminta teman untuk menggantikan. Ya, ini manusiawi. Kenapa harus dipaksa. Tergantung kesadaran masing-masing.
Namun apakah hal ini bisa dihilangkan? Masak selama hidup tidak berani tampil di depan. Bila berawal dari kata perubahan jawabannya bisa dirubah. Tinggal seberapa tekad dan keinginan untuk berubah.
Dulu ada cerita. Seorang siswa yang kuper. Tidak berani berbicara dengan teman sebangkunya. Apalagi dengan orang lain. Ini berlangsung dari SMP hingga perguruan tinggi. Namun seiring dengan waktu, si bocah ini sering ikut kegiatan organisasi kampus. Oleh karena “agak aktif” dipaksa untuk melakoni segala kegiatan. Oleh karena terpaksa akhirnya bisa sedikit berbicara walau gemetaran. Diskusi di kelas, rapat organisasi, seminar menjadi ajang belajar “ngomong”. Dan berlangsung lama. Hingga akhirnya menjadi hal biasa.
Disadari memang kemampuan berbicara bisa diasah dan diperbaiki. Dan ternyata ada juga jenis profesi ini menjadi “gantungan kehidupan”. Misalnya MC, penceramah, ahli pidato, motivator, nara sumber, pelawak, reporter, wartawan, jubir kementerian, humas kementerian/lembaga, hingga jubir presiden. Bahkan masih banyak yang lain.
Ada saran sederhana untuk melangkah ke sana. Diantaranya:
-        - Optimis dan yakin bisa mengerjakan tugas yang dibebankan.
-        - Menguasai permasalahan.
-       - Check petugas, peralatan, kontak person penanggungjawab bila ada sesuatu darurat.
-       -  Menjaga  hubungan baik dengan pemangku kepentingan.
-       -  Percaya diri.
-        - Rajin berlatih.

Demikian sedikit tulisan semoga berguna. Wallahu a’lam bi al shawab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar