dok. google.co.id |
Panggung di depan kelas
dan panggung atau podium di depan khalayak adalah hal yang berbeda. Seorang
guru misalnya setiap hari berhadapan dengan murid. Ketika menyampaikan materi
pelajaran adalah hal yang biasa. Karena sudah menjadi pekerjaan rutin selama
bertahun-tahun. Tidak ada kendala sama sekali.
Hal ini bisa dimaklumi
karena mungkin selama ini tidak ada komplain atau evaluasi atau supervisi atas
pembelajaaran yang dilakukan. Sehingga metode ceramah dari tahun pertama sampai
tahun kesekian tetap. Padahal peserta didik sudah berganti tiap tahun. Bahkan
sekarang juga sudah menjadi temannya, sesama guru.
Diperparah lagi ada
ungkapan, “Saya ajar seperti ini saja siswa menjadi orang”. Ngapain
capek-capek. Ikut workshop, pelatihan K13, walah tetap diikuti saja sebagai
kewajiban. Mengenai implementasi nanti dulu. Ini sebagian kecil celotehan yang
didengar di warung kopi. Tentunya masih banyak guru yang masih memegang prinsip
sebagai sosok guru. Guru yang digugu dan ditiru.
Di lapangan teman guru
yang sudah senior belum tentu berani untuk berdiri di depan podium. Misalnya
menjadi inspektur upacara, mewakili sambutan kepala madrasah, mc rapat dinas,
khutbah hari raya, memberi ceramah peringatan hari besar Islam dan sejenisnya. Yang
jelas ini kasuistis. Masih banyak yang bertanggungjawab atas tugas yang
diberikan. Itupun tidak di sini namun di sana luar pulau Jawa mungkin.
Alibi yang dikemukakan
tidak bisa, sibuk, yang muda saja masih banyak, sakit dan masih banyak lagi.
Bahkan ada juga yang mengancam tidak akan hadir. Yang lucu juga adalah meminta
teman untuk menggantikan. Ya, ini manusiawi. Kenapa harus dipaksa. Tergantung
kesadaran masing-masing.
Namun apakah hal ini bisa
dihilangkan? Masak selama hidup tidak berani tampil di depan. Bila berawal dari
kata perubahan jawabannya bisa dirubah. Tinggal seberapa tekad dan keinginan
untuk berubah.
Dulu ada cerita. Seorang
siswa yang kuper. Tidak berani berbicara dengan teman sebangkunya. Apalagi
dengan orang lain. Ini berlangsung dari SMP hingga perguruan tinggi. Namun
seiring dengan waktu, si bocah ini sering ikut kegiatan organisasi kampus. Oleh
karena “agak aktif” dipaksa untuk melakoni segala kegiatan. Oleh karena
terpaksa akhirnya bisa sedikit berbicara walau gemetaran. Diskusi di kelas, rapat
organisasi, seminar menjadi ajang belajar “ngomong”. Dan berlangsung lama.
Hingga akhirnya menjadi hal biasa.
Disadari memang kemampuan
berbicara bisa diasah dan diperbaiki. Dan ternyata ada juga jenis profesi ini
menjadi “gantungan kehidupan”. Misalnya MC, penceramah, ahli pidato, motivator,
nara sumber, pelawak, reporter, wartawan, jubir kementerian, humas kementerian/lembaga,
hingga jubir presiden. Bahkan masih banyak yang lain.
Ada saran sederhana untuk
melangkah ke sana. Diantaranya:
- - Optimis dan yakin
bisa mengerjakan tugas yang dibebankan.
- - Menguasai
permasalahan.
- - Check petugas,
peralatan, kontak person penanggungjawab bila ada sesuatu darurat.
- - Menjaga hubungan baik dengan pemangku kepentingan.
- - Percaya diri.
- - Rajin berlatih.
Demikian sedikit tulisan
semoga berguna. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar