Kita sepakat bahwa
manusia ingin hidupnya bahagia. Manusia mana saja. Dari etnis, suku bangsa,
budaya mana saja berharap bahagia hidupnya. Namun bahagia yang mana itu menjadi
perdebatan atau juga relatif. Tiap orang atau komunitas tertentu berbeda dalam
memaknai kebahagiaan.
Namun ada kesepahaman
dalam agama kita akan kebahagiaan. Seperti doa yang senantiasa kita sampaikan
kepada Tuhan semesta alam. Yakni doa sapu jagat. Untuk kebahagiaan di duni,
bahagia di akhirat (kehidupan kemudian) dan di jauhkan dari api neraka.
Setidaknya ada beberapa
tanda kebahagiaan yang bisa diraih ketika di dunia dan kita usahakan. Dalam
kitab Nasaihul Ibad pada halaman 22 diterangkan beberapa tanda kebahagiaan:
yakni menyesali dosa yang telah berlalu, melupakan kebaikan yang telah
dikerjakan, melihat orang yang lebih
tinggi agamanya dan dalam hal kekayaan berkaca pada orang yang lebih sedikit kekayaannya.
Menyesali dosa yang telah
berlalu. Dalam hal ini Imam Nawawi albantani memberi tips yakni menyesali
perbuatan dosa dan disertai dengan istighfar. Akan lebih mantap lagi memahami
dengan betul apa yang dibaca ketika membaca istighfar lalu dosa apa yang telah
dilakukan. Jadi tidak cukup hanya membaca istighfar, ini lebih baik. Tidak
berhenti disini saja berusaha untuk tidak mengulangi lagi dosa tersebut.
Melupakan kebaikan yang
telah dilakukan. Kebaikan dicatat sebagai amal soleh. Dan hal ini tentu saja
membanggakan. Bila tidak hati-hati bisa menyebabkan riya’ (pamer) dan sombong.
Lalu menyampaikan kemana-mana. Lebih baik memang seperti ketika tangan kanan
memberi maka tangan kiri tidak tahu. Apa yang telah dilakukan ya sudah. Tidak
perlu diingat-ingat lagi. Namun rasa kemanusiaan timbul lagi. Namanya manusia
terkadang akan mengingat kebaikan yang telah dilakukan bila merasa lelah, hati
dongkol dan sejenisnya. Semoga hal ini menjadi catatan bagi kita.
Melihat orang lain yang
mempunyai ilmu agama dan mengamalkannya. Orang seperti tersebut menjadi
modelling pribadi. Kita mempunyai kemampuan terbatas, akan bahagia bila ada
orang lain yang melaksanakan ilmunya. Kita bisa mencontoh dan menteladaninya.
Para kiai dan guru kita sebenarnya contoh yang dekat dengan kita. Dari beliau-beliau
kita mendapat ilmu. Semoga barakah ilmu yang kita terima dari mereka.
Dalam hal materi kita
bisa melihat orang yang kekayaannya di bawah kita. Ini menimbulkan rasa syukur
atas nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita. Ternyata masih banyak saudara-saudara
kita yang kehidupannya jauh di bawah kita.
Di sekitar kita
kebahagiaan identik dengan banyaknya materi yang dipunyai. Baik luasnya sawah
dan kebun, uang yang disimpan di bank baik dalam maupun luar negeri, mobil,
rumah, saham, logam mulia, dan sejenisnya. Belum lagi jabatan, status sosial.
Dan untuk mendapatkannya terkadang dengan cara apapun.
Kekayaan juga penting.
Untuk ibadahpun membutuhkan materi sebagai sarana. Namun juga tidak seluruhnya
tergantung materi. Kebahagiaan tidak tergantung seluruhnya atas banyaknya
materi. Ini terbukti orang yang tinggal di gubukpun masih bisa tersenyum. Dan
tidur dengan nyenyak. Dan lebih penting lagi apa yang kita miliki bisa berkah
dan bermanfaat. Wallahu a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar