Minggu, 13 April 2014

Harta Anak Yatim



Ada sebuah keluarga dengan satu anak. Sebut saja keluarga Yani dan Yeni sebagai suami isteri. Keseharian sebagai petani dengan mengelola sawah satu hektar dari warisan orang tua. Suatu ketika Yani jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Anak semata wayangnya masih berusia dua tahun. Lalu bagaimana urusan harta si yatim ini?
Kasus di atas bisa terjadi dan bahkan banyak terjadi di sekitar kita. Namun banyak kejadian orang tua atau bahkan kerabat yang menganggap harta peninggalan yang menjadi hak si yatim sebagai hal yang lumrah atau biasa. Sehingga akhirnya hak si yatim terbengkalai bahkan habis. Bisa juga dijadikan jarahan kerabatnya, tidak dimaksimalkan pemanfaatannya, atau bisa juga digunakan si ibu untuk menikah lagi dan digunakan dengan suami baru bahkan bisa dihabiskan. Sehingga si yatim tidak mendapat apa-apa. Menjadi generasi yang lemah. Mengenai permasalahan seperti ini sebenarnya sudah ada titik terangnya. Namun tinggal kita mau memahaminya atau tidak. Bisa juga tidak tahu sehingga menggunakan harta anak yatim seenaknya namun ternyata harta itu tidak halal. Sangat perlu bila ada masalah untuk ditanyakan pada ahlinya.
Harta waris bagi anak yatim perlu dijaga agar tidak habis. Bahkan sangat perlu untuk ditumbuhkembangkan agar nantinya si yatim bisa mandiri dan tidak menjadi generasi yang lemah. Lemah bisa dipahami dibidang ekonomi, pendidikan, kecerdasan, fisik, informasi dan lainnya.
Dalam kasusu di atas si ibu ada hak waris begitu juga si yatim. Bagi si ibu harus mengetahui dengan jelas seberapa luas tanah si yatim. Diberdayakan dan hasilnya khusus untuk anaknya. Bila ia butuh boleh mengambil namun seperlunya. Bukan sebagai pekerja penuh namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Selebihnya bisa ditabung atau digunakan untuk mengembangkan harta si yatim anaknya.
Bila ibunya atau keluarganya kaya maka dianjurkan agar tidak mengambil sama sekali jasa untuk mengembangkan sawahnya tadi.
Ada kasus sederhana. Suatu ketika ada anak yatim diberi sangu pada suatu acara misalnya santunan anak yatim. Maka si ibu tidak boleh menggunakan uang sangu itu untuk keperluan dirinya misalnya untuk menghadiri kondangan, beli baju untuk dirinya atau semacamnya. Boleh dipinjam namun tetap juga mengembalikan. Beginilah para kiai memberi contoh dalam hal kehati-hatian. Takut jikalau harta yang digunakan tidak halal. Selama masa tumbuh kembang si yatim boleh menggunakan hartanya sebatas keperluan pokoknya tidak berlebih-lebihan.
Memelihara harta anak yatim ini diperbolehkan hingga ia tumbuh dewasa mendekati usia nikah. Lalu perlu dicoba seberapa jauh ia bisa dilepas untuk merawat hartanya sendiri. Bila ada hobi pertanian diberi tanggungjawab untuk bertani sambil diarahkan. Begitu juga berbisnis. Diberi modal. Hingga bisa merasakan pahit getir kehidupan bisnis. Namun jika gagal berarti belum bisa dilepas hartanya. Hingga nyata-nyata ia dianggap mampu.
Bila sudah mampu mengurus hartanya sendiri, si yatim diberikan haknya dengan dipersaksikan banyak orang. Secara syari saksi bisa dilakukan secara lesan lewat disaksikan dua orang laki-laki. Bisa juga setaranya. Satu laki-laki setara dua orang perempuan. Akan lebih baik lagi selain dipersaksikan dua orang juga ada materainya dan dicatatkan di akte notaris. Karena ada kaidah fiqh bila ada sesuatu yang menyebabkan wajib maka menyediakan peralatan dan prasaranya juga wajib. Banyak kejadian misalnya wakaf. Kalau jaman orang tua dulu hanya melalui lesan. Namun ternyata digugat ahli warisnya dan menang di pengadilan karena memegang sertifikat hak milik. Berdasar hal tersebut lebih baik dipersaksikan orang juga dicatatkan pada notaris. Biar selamat dan aman. Sah menurut hukum agama juga sah menurut hukum negara. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar