Ada sebuah keluarga
dengan satu anak. Sebut saja keluarga Yani dan Yeni sebagai suami isteri. Keseharian
sebagai petani dengan mengelola sawah satu hektar dari warisan orang tua. Suatu
ketika Yani jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Anak semata wayangnya
masih berusia dua tahun. Lalu bagaimana urusan harta si yatim ini?
Kasus di atas bisa
terjadi dan bahkan banyak terjadi di sekitar kita. Namun banyak kejadian orang
tua atau bahkan kerabat yang menganggap harta peninggalan yang menjadi hak si
yatim sebagai hal yang lumrah atau biasa. Sehingga akhirnya hak si yatim
terbengkalai bahkan habis. Bisa juga dijadikan jarahan kerabatnya, tidak
dimaksimalkan pemanfaatannya, atau bisa juga digunakan si ibu untuk menikah
lagi dan digunakan dengan suami baru bahkan bisa dihabiskan. Sehingga si yatim
tidak mendapat apa-apa. Menjadi generasi yang lemah. Mengenai permasalahan
seperti ini sebenarnya sudah ada titik terangnya. Namun tinggal kita mau
memahaminya atau tidak. Bisa juga tidak tahu sehingga menggunakan harta anak
yatim seenaknya namun ternyata harta itu tidak halal. Sangat perlu bila ada
masalah untuk ditanyakan pada ahlinya.
Harta waris bagi anak
yatim perlu dijaga agar tidak habis. Bahkan sangat perlu untuk
ditumbuhkembangkan agar nantinya si yatim bisa mandiri dan tidak menjadi
generasi yang lemah. Lemah bisa dipahami dibidang ekonomi, pendidikan,
kecerdasan, fisik, informasi dan lainnya.
Dalam kasusu di atas si
ibu ada hak waris begitu juga si yatim. Bagi si ibu harus mengetahui dengan
jelas seberapa luas tanah si yatim. Diberdayakan dan hasilnya khusus untuk
anaknya. Bila ia butuh boleh mengambil namun seperlunya. Bukan sebagai pekerja
penuh namun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya saja. Selebihnya bisa
ditabung atau digunakan untuk mengembangkan harta si yatim anaknya.
Bila ibunya atau
keluarganya kaya maka dianjurkan agar tidak mengambil sama sekali jasa untuk
mengembangkan sawahnya tadi.
Ada kasus sederhana. Suatu
ketika ada anak yatim diberi sangu pada suatu acara misalnya santunan anak
yatim. Maka si ibu tidak boleh menggunakan uang sangu itu untuk keperluan
dirinya misalnya untuk menghadiri kondangan, beli baju untuk dirinya atau
semacamnya. Boleh dipinjam namun tetap juga mengembalikan. Beginilah para kiai
memberi contoh dalam hal kehati-hatian. Takut jikalau harta yang digunakan
tidak halal. Selama masa tumbuh kembang si yatim boleh menggunakan hartanya
sebatas keperluan pokoknya tidak berlebih-lebihan.
Memelihara harta anak
yatim ini diperbolehkan hingga ia tumbuh dewasa mendekati usia nikah. Lalu perlu
dicoba seberapa jauh ia bisa dilepas untuk merawat hartanya sendiri. Bila ada
hobi pertanian diberi tanggungjawab untuk bertani sambil diarahkan. Begitu juga
berbisnis. Diberi modal. Hingga bisa merasakan pahit getir kehidupan bisnis. Namun
jika gagal berarti belum bisa dilepas hartanya. Hingga nyata-nyata ia dianggap
mampu.
Bila sudah mampu mengurus
hartanya sendiri, si yatim diberikan haknya dengan dipersaksikan banyak orang. Secara
syari saksi bisa dilakukan secara lesan lewat disaksikan dua orang laki-laki. Bisa
juga setaranya. Satu laki-laki setara dua orang perempuan. Akan lebih baik lagi
selain dipersaksikan dua orang juga ada materainya dan dicatatkan di akte
notaris. Karena ada kaidah fiqh bila ada sesuatu yang menyebabkan wajib maka
menyediakan peralatan dan prasaranya juga wajib. Banyak kejadian misalnya
wakaf. Kalau jaman orang tua dulu hanya melalui lesan. Namun ternyata digugat
ahli warisnya dan menang di pengadilan karena memegang sertifikat hak milik. Berdasar
hal tersebut lebih baik dipersaksikan orang juga dicatatkan pada notaris. Biar selamat
dan aman. Sah menurut hukum agama juga sah menurut hukum negara. Wallahu a’lam
bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar