Selasa, 18 Maret 2014

Kemacetan Menulis



Suatu ketika kita dihadapkan pada posisi bosan dalam menulis. Inilah namanya writer’s Block. Yang artinya kebuntuan atau kemacetan menulis. Memang disadari bila suatu aktivitas dilakukan dengan senang hati maka tidak terasa dan mengasyikkan. Namun mood tidak selamanya bisa bertahan. Terkadang ada hal lain yang mengusik. Diantaranya sakit, ben Dan memang inilah kehidupan. Berani hidup berani menghadapi masalah. Bila tidak ingin susah jangan hidup. Beginilah kira-kira petuah orang-orang tua kita dulu. Namun bila sudah bosan apa lantas berhenti total? Sebaiknya jangan. Karena kehidupan masih panjang. Masih ada karya yang bisa kita buat. Dan karya itulah yang bawa sebagai amal saleh kita.  Semoga.
Banyak tokoh panutan kita yang bisa kita jadikan model atau teladan. KH. Abdurahman Wahid, Gus Mus, KH. Sahal Mahfudz, Syeh Ihsan Jampes dan yang lain. Beliau-beliau dengan seabreg kegiatan namun masih bisa membuat karya. Karya yang bisa dibaca oleh orang banyak. Kitab Ghoyatul Wushul oleh Mbah Sahal itu ditulis pada usia 24 tahun. Ini yang luar biasa. Dan ternyata karya beliau menjadi referensi di Alazhar Mesir. Alangkah indahnya bila mempunyai karya. Namanya akan tetap abadi walau penulisnya telah tiada. Dan para santri akan tetap mengirimi hadiah fatihah sebelum dibaca sebagai penghormatan atas pengarang kitab. Jadi bisa ribuan santri yang mengirimi hadiah fatihah. Seiring jumlah pondok pesntren yang tersebar di seluruh nusantara. Dari Sabang sampai Merauke.
Ada yang menarik dari tulisan Moh. Khoiri pada Harian Duta hari Ahad, 16 Maret 2014 mengenai writer’s block atau kebuntuan menulis. Ada beberapa tips untuk mengatasi kemacetan menulis. Diantaranya:
Menjadwal waktu menulis. Pak Imam Suprayogo mempunyai kebiasaan menulis di pagi hari sesudah menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Sambil berjalan pulang memikirkan nanti apa yang di tulis. Bila laptop sudah dinyalakan. Langsung apa yang terpikir dalam pikiran dituangkan dalam rangkaian kata. Dan jadilah artikel setiap hari. Dan sudah berjumlah ribuan sekarang ini. Lalu ada Pak Muhibbin yang sekarang didaulat menjadi rektor IAIN Walisongo Semarang mempunyai jadwal menulis sebelum subuh. Sehabis salat malam keadaan fikiran masih segar mudah untuk menghimpun huruf menjadi barisan kata membentuk  artikel yang diunggah diblog pribadinya setiap hari. Dan masih banyak yang lain. Yang jelas butuh waktu tersendiri untuk meluangkan waktu untuk menulis.
Membuat minimal tulisan. Ada juga penulis yang membuat batasan menulis minimal 500 kata. Dan ternyata bila ajek menulis bisa menghasilkan karya yang banyak. Karya besar dan luar biasa dimulai dari hal kecil namun rutin. Bukan tidak mungkin walau kurang dari 500 kata namun istikomah bisa menjadi peninggalan yang mengagumkan di suatu saat kelak.
Tempat yang nyaman. Bila di warung lebih nyaman mengapa tidak dicoba. Ada sementara cafe atau warung yang memberi fasilitas lebih kepada pengunjungnya. Dengan pertimbangan untuk menjaga kefanatikan konsumen. Maka apabila fasilitas sesuai dengan selera pelanggan maka pelanggan tidak akan lari. Mengenai hal ini kita sendiri yang tahu. Nyaman menulis dimana. Misalnya perlu sambil mendengarkan musik.
Menulis apa yang ada dalam pikiran. Ketika menulis perlu dibebaskan dari hal-hal yang membelenggu pikiran. Dibuat pikiran kita bebas. Sekat-sekat nanti akan ditertawakan yang membaca, banyak ejaan yang salah, struktur yang salah, dianggap bodoh sekalipun tidak usah dihiraukan. Terus saja menulis seperti mudahnya berbicara. Memang seharusnya kalau kita bisa lancar berbicara seharusnya kita juga lancar untuk menulis. Bukankah dua hal tersebut adalah bagian dari ketrampilan berbahasa kita disamping menyimak dan mendengar.
Mengangsur tulisan. Tidak harus menulis harus selesai pada sekali duduk. Bisa sesekali hanya outline. Atau beberapa kata awal. Dan bisa dilanjutkn pada lain waktu. Bila ada sedikit waktu apa yang ada dalam pikiran diketik saja. Semoga dilain waktu bisa kita tuntaskan rajutan tulisannya.
Anggap menulis sebagai pekerjaan rutin. Apapun aktivitas bila dilakukan seringkali menjadi rutinitas. Alangkah baiknya bila kebiasaan menulis menjadi bagian dari tugas rutin keseharian kita. Sehingga bila belum menulis serasa  ada pekerjaan yang belum dikerjakan. Profesi apapun sebenarnya tidak lepas dan menjadi lebih sempurna bila ditunjang dengan aktivitas menulis. Lihat saja Dahlan Iskan. Menteri yang aktif menulis manufactoring hope tiap hari Senin. Karena senang melihat tulisannya bahkan Duta Besar RI di Swiss Joko Susilo mengakhirkan tidurnya demi membaca terlebih dahulu tulisan Dahlan Iskan.
Bahkan banyak CEO BUMN yang mulai menulis. Mungkin sudah biasa namun ternyata karena bisa menginspirasi banyak orang sehingga perlu menuangkan dalam tulisan maka diterbitkanlah tulisannnya. Bahkan menjadi best seller. Seperti CEO Semen Indonesia, Dwi Soetjipto. Belum lagi Dirut PT KAI, Ignatius Jonan, ada juga yang dari Pelindo. Dan masih banyak lagi yang lain.
Saya mempunyai kenalan rumahnya Nganjuk. Putrinya kuliah di jurusan keperawatan. Namun mempunyai hobi menulis. Ternyata hobi menulisnya yang membawanya menjadi mahasiswa berprestasi dan bahkan menjadi sumber penghasilan untuk kelancaran kuliah.
Istirahat setelah menyelesaikan proyek. Istirahat sebentar memang perlu. Tubuh kita juga membutuhkan rehat. Karena organ tubuh bukankah mesin robot. Jadi rehat untuk merayakan kebahagiaan sudah berhasil menulis. Namun jangan lama-lama. Karena berdasar pengalaman bila terlalu lama tidak menulis maka mood bahkan keinginan untuk menulis akan hilang.
Menentukan deadline dan dijalankan. Bila belajar untuk rutin dalam aktivitas menulis maka tidak ayal lagi untuk menentukan deadline kapan sebuah tulisan harus diselesaikan. Misalnya malam jam 22. Atau pagi hari sebelum berangkat kerja. Bisa saja sesuai kesepakatan dengan hati kita. Yang lebih perlu dijaga adalah konsekwensi dari diri kita untuk menepati diri sendiri.
 Melakukan beberapa proyek sekaligus. Bila pekerjaan atau aktivitas rutin yang monoton bisa membuat  kurang bergairah maka bisa dicoba untuk membuat beberapa proyek menulis. Namun tentu saja disesuaikan dengan kemampuan diri sendiri. Dan kita sendiri yang lebih tahu.
Mencoba latihan menulis. Menulis tidak ada kata sempurna. Semakin diasah maka akan semakin tajam. Itulah pisau. Begitu juga menulis. Ini kata-kata dari ki suhu penulis. Dengan banyak dan beragam menulis maka lambat laun tulisan kita akan menjadi lebih baik. Awalnya bahasanya masih acak-acakan namun karena sering dan rutin menjadi mudah dicerna. Maksudnya sesuai dengan harapan pikiran dan tulisannya bisa dicerna oleh pembacanya. Memang antara apa yang dipikir dengan yang ditulis terkadang tidak berbanding lurus. Ada orang pandai namun tulisannya sukar dimengerti. Ada juga sebaliknya. Yang bisa dilakukan adalah belajar sedikit sedikit.
Mengingat mengapa anda memulai menulis. Sebagai motivasi untuk terus berkarya boleh mengingat masa awal mulai menulis. Mengapa dulu suka menulis. Menulis karena cinta, suka cita adalah kegiatan yang meringankan. Bila ini terjadi maka menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Semoga kita bisa. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar