Suatu ketika kita dihadapkan pada
posisi bosan dalam menulis. Inilah namanya writer’s Block. Yang artinya kebuntuan
atau kemacetan menulis. Memang disadari bila suatu aktivitas dilakukan dengan
senang hati maka tidak terasa dan mengasyikkan. Namun mood tidak selamanya bisa
bertahan. Terkadang ada hal lain yang mengusik. Diantaranya sakit, ben Dan
memang inilah kehidupan. Berani hidup berani menghadapi masalah. Bila tidak
ingin susah jangan hidup. Beginilah kira-kira petuah orang-orang tua kita dulu.
Namun bila sudah bosan apa lantas berhenti total? Sebaiknya jangan. Karena
kehidupan masih panjang. Masih ada karya yang bisa kita buat. Dan karya itulah
yang bawa sebagai amal saleh kita. Semoga.
Banyak
tokoh panutan kita yang bisa kita jadikan model atau teladan. KH. Abdurahman
Wahid, Gus Mus, KH. Sahal Mahfudz, Syeh Ihsan Jampes dan yang lain.
Beliau-beliau dengan seabreg kegiatan namun masih bisa membuat karya. Karya
yang bisa dibaca oleh orang banyak. Kitab Ghoyatul Wushul oleh Mbah Sahal itu
ditulis pada usia 24 tahun. Ini yang luar biasa. Dan ternyata karya beliau
menjadi referensi di Alazhar Mesir. Alangkah indahnya bila mempunyai karya.
Namanya akan tetap abadi walau penulisnya telah tiada. Dan para santri akan
tetap mengirimi hadiah fatihah sebelum dibaca sebagai penghormatan atas
pengarang kitab. Jadi bisa ribuan santri yang mengirimi hadiah fatihah. Seiring
jumlah pondok pesntren yang tersebar di seluruh nusantara. Dari Sabang sampai
Merauke.
Ada yang
menarik dari tulisan Moh. Khoiri pada Harian Duta hari Ahad, 16 Maret 2014
mengenai writer’s block atau kebuntuan menulis. Ada beberapa tips untuk
mengatasi kemacetan menulis. Diantaranya:
Menjadwal waktu menulis. Pak Imam
Suprayogo mempunyai kebiasaan menulis di pagi hari sesudah menunaikan salat
subuh berjamaah di masjid. Sambil berjalan pulang memikirkan nanti apa yang di
tulis. Bila laptop sudah dinyalakan. Langsung apa yang terpikir dalam pikiran
dituangkan dalam rangkaian kata. Dan jadilah artikel setiap hari. Dan sudah
berjumlah ribuan sekarang ini. Lalu ada Pak Muhibbin yang sekarang didaulat
menjadi rektor IAIN Walisongo Semarang mempunyai jadwal menulis sebelum subuh. Sehabis
salat malam keadaan fikiran masih segar mudah untuk menghimpun huruf menjadi
barisan kata membentuk artikel yang
diunggah diblog pribadinya setiap hari. Dan masih banyak yang lain. Yang jelas
butuh waktu tersendiri untuk meluangkan waktu untuk menulis.
Membuat minimal tulisan. Ada juga
penulis yang membuat batasan menulis minimal 500 kata. Dan ternyata bila ajek
menulis bisa menghasilkan karya yang banyak. Karya besar dan luar biasa dimulai
dari hal kecil namun rutin. Bukan tidak mungkin walau kurang dari 500 kata
namun istikomah bisa menjadi peninggalan yang mengagumkan di suatu saat kelak.
Tempat
yang nyaman. Bila di warung lebih nyaman mengapa tidak dicoba. Ada sementara
cafe atau warung yang memberi fasilitas lebih kepada pengunjungnya. Dengan
pertimbangan untuk menjaga kefanatikan konsumen. Maka apabila fasilitas sesuai
dengan selera pelanggan maka pelanggan tidak akan lari. Mengenai hal ini kita
sendiri yang tahu. Nyaman menulis dimana. Misalnya perlu sambil mendengarkan
musik.
Menulis
apa yang ada dalam pikiran. Ketika menulis perlu dibebaskan dari hal-hal yang
membelenggu pikiran. Dibuat pikiran kita bebas. Sekat-sekat nanti akan
ditertawakan yang membaca, banyak ejaan yang salah, struktur yang salah,
dianggap bodoh sekalipun tidak usah dihiraukan. Terus saja menulis seperti
mudahnya berbicara. Memang seharusnya kalau kita bisa lancar berbicara
seharusnya kita juga lancar untuk menulis. Bukankah dua hal tersebut adalah
bagian dari ketrampilan berbahasa kita disamping menyimak dan mendengar.
Mengangsur
tulisan. Tidak harus menulis harus selesai pada sekali duduk. Bisa sesekali
hanya outline. Atau beberapa kata awal. Dan bisa dilanjutkn pada lain waktu. Bila
ada sedikit waktu apa yang ada dalam pikiran diketik saja. Semoga dilain waktu
bisa kita tuntaskan rajutan tulisannya.
Anggap
menulis sebagai pekerjaan rutin. Apapun aktivitas bila dilakukan seringkali menjadi
rutinitas. Alangkah baiknya bila kebiasaan menulis menjadi bagian dari tugas
rutin keseharian kita. Sehingga bila belum menulis serasa ada pekerjaan yang belum dikerjakan. Profesi
apapun sebenarnya tidak lepas dan menjadi lebih sempurna bila ditunjang dengan
aktivitas menulis. Lihat saja Dahlan Iskan. Menteri yang aktif menulis
manufactoring hope tiap hari Senin. Karena senang melihat tulisannya bahkan
Duta Besar RI di Swiss Joko Susilo mengakhirkan tidurnya demi membaca terlebih
dahulu tulisan Dahlan Iskan.
Bahkan
banyak CEO BUMN yang mulai menulis. Mungkin sudah biasa namun ternyata karena
bisa menginspirasi banyak orang sehingga perlu menuangkan dalam tulisan maka
diterbitkanlah tulisannnya. Bahkan menjadi best seller. Seperti CEO Semen
Indonesia, Dwi Soetjipto. Belum lagi Dirut PT KAI, Ignatius Jonan, ada juga
yang dari Pelindo. Dan masih banyak lagi yang lain.
Saya
mempunyai kenalan rumahnya Nganjuk. Putrinya kuliah di jurusan keperawatan.
Namun mempunyai hobi menulis. Ternyata hobi menulisnya yang membawanya menjadi
mahasiswa berprestasi dan bahkan menjadi sumber penghasilan untuk kelancaran
kuliah.
Istirahat
setelah menyelesaikan proyek. Istirahat sebentar memang perlu. Tubuh kita juga
membutuhkan rehat. Karena organ tubuh bukankah mesin robot. Jadi rehat untuk
merayakan kebahagiaan sudah berhasil menulis. Namun jangan lama-lama. Karena
berdasar pengalaman bila terlalu lama tidak menulis maka mood bahkan keinginan
untuk menulis akan hilang.
Menentukan
deadline dan dijalankan. Bila belajar untuk rutin dalam aktivitas menulis maka
tidak ayal lagi untuk menentukan deadline kapan sebuah tulisan harus
diselesaikan. Misalnya malam jam 22. Atau pagi hari sebelum berangkat kerja.
Bisa saja sesuai kesepakatan dengan hati kita. Yang lebih perlu dijaga adalah
konsekwensi dari diri kita untuk menepati diri sendiri.
Melakukan beberapa proyek sekaligus. Bila
pekerjaan atau aktivitas rutin yang monoton bisa membuat kurang bergairah maka bisa dicoba untuk
membuat beberapa proyek menulis. Namun tentu saja disesuaikan dengan kemampuan
diri sendiri. Dan kita sendiri yang lebih tahu.
Mencoba
latihan menulis. Menulis tidak ada kata sempurna. Semakin diasah maka akan semakin
tajam. Itulah pisau. Begitu juga menulis. Ini kata-kata dari ki suhu penulis. Dengan
banyak dan beragam menulis maka lambat laun tulisan kita akan menjadi lebih
baik. Awalnya bahasanya masih acak-acakan namun karena sering dan rutin menjadi
mudah dicerna. Maksudnya sesuai dengan harapan pikiran dan tulisannya bisa
dicerna oleh pembacanya. Memang antara apa yang dipikir dengan yang ditulis
terkadang tidak berbanding lurus. Ada orang pandai namun tulisannya sukar
dimengerti. Ada juga sebaliknya. Yang bisa dilakukan adalah belajar sedikit
sedikit.
Mengingat
mengapa anda memulai menulis. Sebagai motivasi untuk terus berkarya boleh
mengingat masa awal mulai menulis. Mengapa dulu suka menulis. Menulis karena
cinta, suka cita adalah kegiatan yang meringankan. Bila ini terjadi maka
menulis adalah aktivitas yang menyenangkan. Semoga kita bisa. Wallahu a’lam bi
al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar