Suatu sore yang cerah. Saya kebetulan bertandang ke rumah seorang guru. Belum selesai mengutarakan maksud kedatangan ada tamu yang datang. Dari pembicaraan yang terdengar terlihat bahwa sang tamu dari luar kota.
Seorang teman yang punya pondok pesantren besar dengan bangunan menghabiskan milyaran rupiah. Pondoknya dilengkapi dengan lembaga pendidikan formal dari play group, taman kanak-kanak, sekolah dasar, smp dan sma datang dengan mengendari pajero sport yang dikemudikan oleh salah seorang santrinya. Setelah datang di sambut dengan duduk lesehan di emperan musala yang belum jadi. Kelihatan tidak ada sekat yang mengharuskan memisahkan keduanya. Percakapan layaknya dua teman yang lama tidak bersua. Sesekali ada tertawa berderai mengingat masa lalu lalu di pesantren yang lucu dan menarik. Namun ada kesan mendalam.
Akrab, tidak ada jarak, padahal secara ekonaomi jauh panggang dari api. Si tamu menjadi direktur dari beberapa perusahaan dan juga komisaris, lalu juga masih sering bolak-balik Mojokerto Singapura karena menjadi imam masjid sultan di sana. Dari segi pendidikan yang satu lulusan pascasarjana luar negeri namun tuan rumah lulusan perguruan tinggi di Jakarta. Nyatanya hal itu semua tidak menjadi sekat mereka berdua. Lalu apa yang membuat hal ini bisa terjadi? Padahal sekarang ini semua serba materialistik. Seseorang dihormati karena apa yang dipunyai. Bisa mobil, rumah mewah, luasnya sawah, jabatan mentereng, isteri cantik, anak yang berpendidikan sekolah bonafid, banyaknya perusahaan, status sosial, strata pendidikan, dana yang terparkir di bank dan sebagainya.
Masa di mana menuntut ilmu di pondok pesantren membuat keakraban tidak hilang. Bahkan terasa seperti saudara sendiri. Sehingga apabila lama tidak berjumpa terasa ada yang kurang lengkap. Kabar keluarga, aktivitas yang dikerjakan menjadi bahan pembicaraan yang mengasikkan. Ada saling mengisi dan memberi solusi atas permasalahan yang dihadapi.
persahabatan juga membawa kesejahteraan. asal menjaga kepercayaan. Ternyata si tamu melengkapi pesanan hewan sebelumnya. Memang dikenal tuan rumah ahli dalam mencarikan hewan kurban dan akikah. bila sebelumnya hanya pesan 1 sapi dan 4 kambing ditambahi 2 kambing lagi.
Karakter yang ditanam di pondok pesantren bisa membuat santri terikat satu sama lain. Dan tentu saja karakter kesederhanaan, saling mengasihi, saling bekerjasama dalam kebaikan, saling nasehat menasehati, menjaga hubungan baik dengan teman, menjaga hubungan baik dengan kiai dan keluarganya, dan tentu saja perintah menyebarkan ilmu yang dipunyai walau satu ayat terasa terpatri dalam sanubari tiap santri. Maka bisa dilihat di desa atau bahkan di kota besar, dimanapun santri sudah kembali dari pondok ada jiwa pengabdian untuk dakwah agama. Misalnya dari hal yang sederhana namun sebenarnya berat. Menjadi muazin masjid dan musala, mengajar alif bak tak, menjadi imam salat jamaah di masjid musala, menjadi guru di madrasah diniyah dan sebagainya. Ada lagi misalnya mengurus hal yang berkaitan dengan masyarakat. Misalnya mengurus kematian, jamaah yang ada di desa misalnya salawatan, banjarian, nariyahan, tahlil, pengajian, majelis taklim.
Santri yang berhasil memberi warna Indonesia. |
Lulusan sekolah formal bahkan sarjana ke mana-mana mengajukan lamaran pekerjaan dan banyak yang menganggur. Namun lulusan pesantren tidak mau bertopang dagu. Apa yang bisa dikerjakan oleh tangan dan kaki dikerjakan. Allah sendiri nanti yang mengaturnya.
Karakter akrab dengan teman, egaliter ternyata membawa kesejahteraan dan kebahagiaan tersendiri. Dan karakter ini ditumbuhkembangkan di pondok pesantren. Selanjutnya terbawa santri dalam kehidupan nyata di masyarakat. Memang dalam pandangan Allah manusia mulia bukan karena harta, pangkat, status sosial namun oleh karena takwanya kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. inna akramakum ‘indallahi atqaqum. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar