Minggu, 09 Juni 2013

Kegelisahan Pelaku Pendidikan

Berbicara mengenai pendidikan memang tidak akan ada habisnya. Dan selalu menarik. Dilihat dari segala sisi ada saja celah untuk dibincang. Bisa melalui kurikulum, sarana, kementerian, guru, anggaran, peserta didik, standar kelulusan, kualitas dan sebagainya.
Beberapa hari yang lalu disela-sela rehat dari mengajar saya berbincang-bincang dengan rekan guru. Kebetulan teman saya itu juga mengajar di madrasah swasta. Jadi ia bisa merasakan denyut nadi operasional madrasah swasta. Diantaranya materi  yang dibahas antara lain kesejahteraan.
Guru mengajar setiap hari. Dihadapannya ada peserta didik yang mempunyai karakter yang beraneka ragam. Terkadang oleh karena terbawa emosi dari rumah lalu ketika mengajar sempat marah oleh karena polah tingkah peserta didiknya. Guru juga manusia yang juga mempunyai beban menafkahi anggota keluarganya. Guru akan bisa aktif mengajar bila periuknya juga terus mengepul. Bila awal pendirian madrasah guru diajak untuk berjuang maka setelah madrasah bisa mengatasi biaya operasional dan ada sedikit kelebihan seyogyanya kesejahteraan guru dan juga pegawai diperhatikan. Karena disatu sisi guru memegang aspek utama pendidikan. Madrasah ada murid namun tidak ada guru maka pendidikan tidak akan jalan. Maka guru sudah selayaknya diperhatikan keberadaannya. Kesejahteraannya diberikan sebelum kering keringatnya. Begitulah pesan Nabi. Jangan sampai guru sudah mengajar sebulan namun honornya masih belum diberikan. Dampak yang timbul kemudian adalah rasan-rasan antar guru, kemana uangnya padahal dana BOS sudah cair.
Disisi lain untuk madrasah baru yang diharapkan dari para guru adalah ketepatan waktu menerima honor walau isi amplop belum seberapa. Disamping senyum dari pengurus yayasan. Karena yang membuat hati kesal terkadang adalah sudah kesejahterannya seperti itu juga tidak ramahnya para pengurus yayasan. Menurut saya ini memang terjadi karena sudah pernah mengalami ketika masih menjadi guru madrasah honorer.

Sistem rekrutmen pegawai juga menjadi sumber ketegangan tersendiri. Memang disadari bahwa lembaga pendidikan di bawah yayasan biasanya pengurusnya adalah keluarga. Sehingga dampak yang ditimbulkan biasanya merekrut guru atau pegawai dari keluarga pengurus. Terkadang tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya namun dipaksakan untuk diterima. Akhirnya terjadi kasak-kusuk diantara pegawai. Situasi kurang nyaman berdampak pada kualitas pembelajaran. Yang lebih menyesakkan dada juga mentang-mentang dari keluarga yayasan bersikap seenaknya saja. Ini menjadi masalah dilematis dikemudian hari.
Semua pegawai pada dasarnya menghendaki jenjang karier yang lebih jelas. Sudah sekian lama mengebdi namun posisinya masih tetap saja seperti di awal masuk. Hal ini menjadikan pegewai bekerja apa adanya, hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Tantangan yang menantang tidak ada. Hal ini bila dibiarkan akan menimbulkan rasa frustasi bagi pegawai yang mempunyai kemampuan lebih. Maka jenjang karier penting untuk difikirkan dan diformat sedemikian rupa untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan.
Pengelolaan keuangan juga menjadi bahan pembicaraan diantara guru. Memang secara naluriah tidak ada yang lepas dari pembicaraan dalam satu komunitas. Apalagi hal tersebut menyanggut hajat hidup orang banyak. Namun bila dikelola dengan baik, transparan, dipegang oleh orang lain yang dipercaya maka akan mengurangi resistensi pengembangan pendidikan. Akan lebih baik lagi semua anggota mengerti mengenai pos-pos anggaran keuangan lembaga. Ada suatu madrasah yang melaksanakan hal ini. Hingga berapa honor kepala, guru hingga penjaga sekolah. Pos apa saja yang dibiayai sehingga tidak ada yang ditutupi. Hasilnya ada rasa kebersamaan untuk  memajukan lembaga. Bila keadaan darurat krisis uang maka yang lain bisa menyadari memang keadaan seperti itu. Di kasus yang lain ada juga yang masih kerja ganda. Ketua yayasan, kepala madrasah sekaligus bendahara dipegang oleh satu orang. Ini kurang baik dilihat dari segi organisasi karena tidak ada kontrol dan penyeimbang. Tidak ada yang mengingatkan bila ada kesalahan. Bila sudah ada perkataan ‘pokoke’ maka semuanya tidak ada yang membantah. Dari pengalaman lembaga pendidikan yang telah maju ada hal yang bisa dipetik diantaranya adanya rencana pengembangan madrasah, penetapan prioritas, rincian pendapatan dan pengeluaran selama setahun, menejemen sumberdaya manusianya –satu orang memegang satu peran yang spesifik tidak ganda.
Selanjutnya adalah pengembangan SDM yang berkesinambungan dan terencana. Semua guru dan pegawai berhak untuk meningkatkan SDMnya. Bisa diberi kesempatan studi lanjut, kursus-kursus sesuai dengan bidang tugasnya, dan bisa juga kursus untuk tujuan pengembangan lembaga.
Ada satu SD di Jember yang mengelola kesejehteraan guru dan pegawainya dengan baik. Walau berstatus swasta namun ada jenjang kepangkatan dan golongan. Dari hal ini berarti pendapatan disesuaikan dengan jenjang kepangkatan dan golongannya. Lalu juga ada gaji pensiun. Dengan system seperti ini membuat guru bisa konsentrasi untuk bekerja di satu tempat dengan imbalan yang lumayan tentunya. Apakah bisa hal ini diterapkan dilembaga pendidikan Islam yang lain? Wallahu a’lam bi al shawab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar