Berbicara mengenai pendidikan
memang tidak akan ada habisnya. Dan selalu menarik. Dilihat dari segala sisi
ada saja celah untuk dibincang. Bisa melalui kurikulum, sarana, kementerian,
guru, anggaran, peserta didik, standar kelulusan, kualitas dan sebagainya.
Beberapa hari yang lalu
disela-sela rehat dari mengajar saya berbincang-bincang dengan rekan guru.
Kebetulan teman saya itu juga mengajar di madrasah swasta. Jadi ia bisa
merasakan denyut nadi operasional madrasah swasta. Diantaranya materi yang dibahas antara lain kesejahteraan.
Guru mengajar setiap hari.
Dihadapannya ada peserta didik yang mempunyai karakter yang beraneka ragam.
Terkadang oleh karena terbawa emosi dari rumah lalu ketika mengajar sempat
marah oleh karena polah tingkah peserta didiknya. Guru juga manusia yang juga
mempunyai beban menafkahi anggota keluarganya. Guru akan bisa aktif mengajar
bila periuknya juga terus mengepul. Bila awal pendirian madrasah guru diajak
untuk berjuang maka setelah madrasah bisa mengatasi biaya operasional dan ada
sedikit kelebihan seyogyanya kesejahteraan guru dan juga pegawai diperhatikan.
Karena disatu sisi guru memegang aspek utama pendidikan. Madrasah ada murid
namun tidak ada guru maka pendidikan tidak akan jalan. Maka guru sudah
selayaknya diperhatikan keberadaannya. Kesejahteraannya diberikan sebelum
kering keringatnya. Begitulah pesan Nabi. Jangan sampai guru sudah mengajar
sebulan namun honornya masih belum diberikan. Dampak yang timbul kemudian
adalah rasan-rasan antar guru, kemana uangnya padahal dana BOS sudah cair.
Disisi lain untuk madrasah baru
yang diharapkan dari para guru adalah ketepatan waktu menerima honor walau isi
amplop belum seberapa. Disamping senyum dari pengurus yayasan. Karena yang
membuat hati kesal terkadang adalah sudah kesejahterannya seperti itu juga
tidak ramahnya para pengurus yayasan. Menurut saya ini memang terjadi karena
sudah pernah mengalami ketika masih menjadi guru madrasah honorer.
Sistem rekrutmen pegawai juga
menjadi sumber ketegangan tersendiri. Memang disadari bahwa lembaga pendidikan
di bawah yayasan biasanya pengurusnya adalah keluarga. Sehingga dampak yang
ditimbulkan biasanya merekrut guru atau pegawai dari keluarga pengurus. Terkadang
tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya namun dipaksakan untuk
diterima. Akhirnya terjadi kasak-kusuk diantara pegawai. Situasi kurang nyaman
berdampak pada kualitas pembelajaran. Yang lebih menyesakkan dada juga
mentang-mentang dari keluarga yayasan bersikap seenaknya saja. Ini menjadi
masalah dilematis dikemudian hari.
Semua pegawai pada dasarnya
menghendaki jenjang karier yang lebih jelas. Sudah sekian lama mengebdi namun
posisinya masih tetap saja seperti di awal masuk. Hal ini menjadikan pegewai
bekerja apa adanya, hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Tantangan yang
menantang tidak ada. Hal ini bila dibiarkan akan menimbulkan rasa frustasi bagi
pegawai yang mempunyai kemampuan lebih. Maka jenjang karier penting untuk
difikirkan dan diformat sedemikian rupa untuk peningkatan kualitas lembaga
pendidikan.
Pengelolaan keuangan juga menjadi
bahan pembicaraan diantara guru. Memang secara naluriah tidak ada yang lepas
dari pembicaraan dalam satu komunitas. Apalagi hal tersebut menyanggut hajat
hidup orang banyak. Namun bila dikelola dengan baik, transparan, dipegang oleh
orang lain yang dipercaya maka akan mengurangi resistensi pengembangan
pendidikan. Akan lebih baik lagi semua anggota mengerti mengenai pos-pos
anggaran keuangan lembaga. Ada suatu madrasah yang melaksanakan hal ini. Hingga
berapa honor kepala, guru hingga penjaga sekolah. Pos apa saja yang dibiayai
sehingga tidak ada yang ditutupi. Hasilnya ada rasa kebersamaan untuk memajukan lembaga. Bila keadaan darurat
krisis uang maka yang lain bisa menyadari memang keadaan seperti itu. Di kasus
yang lain ada juga yang masih kerja ganda. Ketua yayasan, kepala madrasah
sekaligus bendahara dipegang oleh satu orang. Ini kurang baik dilihat dari segi
organisasi karena tidak ada kontrol dan penyeimbang. Tidak ada yang
mengingatkan bila ada kesalahan. Bila sudah ada perkataan ‘pokoke’ maka
semuanya tidak ada yang membantah. Dari pengalaman lembaga pendidikan yang
telah maju ada hal yang bisa dipetik diantaranya adanya rencana pengembangan
madrasah, penetapan prioritas, rincian pendapatan dan pengeluaran selama
setahun, menejemen sumberdaya manusianya –satu orang memegang satu peran yang
spesifik tidak ganda.
Selanjutnya adalah pengembangan
SDM yang berkesinambungan dan terencana. Semua guru dan pegawai berhak untuk
meningkatkan SDMnya. Bisa diberi kesempatan studi lanjut, kursus-kursus sesuai
dengan bidang tugasnya, dan bisa juga kursus untuk tujuan pengembangan lembaga.
Ada satu SD di Jember yang
mengelola kesejehteraan guru dan pegawainya dengan baik. Walau berstatus swasta
namun ada jenjang kepangkatan dan golongan. Dari hal ini berarti pendapatan disesuaikan
dengan jenjang kepangkatan dan golongannya. Lalu juga ada gaji pensiun. Dengan system
seperti ini membuat guru bisa konsentrasi untuk bekerja di satu tempat dengan
imbalan yang lumayan tentunya. Apakah bisa hal ini diterapkan dilembaga
pendidikan Islam yang lain? Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar