Senin, 21 Juni 2010

Menjual Daun Pisang

Bagi kita yang tinggal di desa masih biasa kita jumpai pohon pisang di sekitar rumah. Bahkan ada juga yang menanam pohon pisang di pinggiran petak sawah. Memang petani biasanya ulet. Mungkin ini dilatarbelakangi dengan penghasilan yang harus dicukup-cukupkan atau melihat masih ada lahan yang kosong yang masih bisa dimanfaatkan. Maka ditanami saja dengan pohon yang bisa menghasilkan tambahan penghasilan. Memang disadari menanam pohon pisang cukup mudah dan gampang pula perawatannya.
Namun saya lihat masih jarang petani di sekitar kita yang menanami tegalan dengan pohon pisang. Dengan kalkulasi merasa rugi bila dibanding dengan menanam palawija. Bila menanampun lebih banya untuk di jual buahnya.
Ada pemikiran lain, bila yang dijual adalah daun pisang bukan buah. Daun pisang dalam keseharian digunakan untuk pincuk nasi pecel yang biasa dijual dari pedagang keliling. Atau di warung. Rasa nasi pincuk memang terasa lain apalagi sendoknya dengan suru. Suru adalah daun pisang yang dilipat lebarnya disesuaikan seperti sendok. Nikmat sekali rasanya. Teringat masa kecil dulu. Nasi pecel dengan seluruh pincuk dengan daun pisang. Harga nasi pada waktu itu masih lima puluh rupiah di tahun 90an kebawah. Pada tahun itu, di desa penggunaan kertas masih terbatas apalagi kertas minyak dan piring. Piring saja dipakai masih di restoran. Di warung desa masih kebanyakan memakai pincuk. Sehingga bila sekarang ada restoran yang menyediakan menu nasi pecel dengan pincuk tentunya bagian dari pelayanan yang mengajak para pembeli untuk bernostalgia dengan masa lalu. Tentu saja harganya lebih mahal sedikit dengan piring. Beda pelayanan.
Seiring dengan pertambahan penduduk yang pesat sedang jumlah lahan pertanian menyempit, kebutuhan akan daun pisang semakin meningkat dan harganya mahal. Sekarang saja tiap sepuluh tangkai bisa dihargai enam ribu rupiah bersih. Jadi yang mengambil adalah pembelinya. Pemilik tinggal menerima uangnya saja. Dan itupun pembeli rebutan mencari.
Bila yang dijual daunnya, maka hasil buahnya tidak bisa diharapkan. Soalnya saripati proses asimilasi lebih banyak digunakan untuk peremajaan daun. Diusahakan bila mengambil daun disisakan sedikit daun dipangkalnya. Biar tidak kering. Jangan lupa setelah dipanen daunnya untuk dilep (disiram air secukupnya dengan diesel). Bila ini dilakukan sepekan kemudian bisa dipanen lagi daunnya. Dan seterusnya.
Kesulitannya adalah mencari pembeli yang jujur. Biasanya penjual tinggal terima uang saja. Sehingga tidak tahu berapa tangkai daun yang dipotong. Kerap terjadi pembeli memotong 60 tangkai namun diberi uang sejumlah 20 tangkai saja. Untuk melihat tingkat kejujuran pembeli, pemilik bisa menghitung kembali jumlah tangkai daun pisang yang ada. Bila terjadi kecurangan, pembeli seperti ini tidak usah dilayani lagi. Mudah bukan?
Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar