Senin, 15 November 2010

Memberi Tidak Harus Kaya Dulu

Seperti biasa, sesekali waktu ada adik kelas yang datang ke rumah. Terkadang hanya silaturahmi. Atau juga ada keperluan. Kebetulan kemarin malam ada tamu dari adik kelas. Datangnya sudah malam, jam 21.00 WIB. Ia tergolong mahasiswa yang aktif dalam kegiatan organisasi. Baik di intra sebagai ketua BEM setelah itu menjadi pengurus teras di organisasi ekstra mahasiswa. Tepatnya di PMII.
Ia bercerita bahwa mahasiswa sekarang agak malas untuk ikut organisasi. Bila ada persoalan yang dihadapi cepat mengeluh dan tidak segera mencari solusi. Hal ini mungkin dipicu oleh kemudahan hidup. Karena semuanya sudah dicukupi orang tua. Dan keinginan ke depan sudah pragmatis. Selesai kuliah dapat kerja enak minimal jadi PNS. Kebanyakan mahasiswa sekarang orientasinya menjadi PNS. Katanya dengan menjadi pegawai hidupnya lebih terjamin dan prestise sosial akan naik. Apalagi ada iming-iming dana pensiun dan juga ada tunjangan profesi bagi guru.
Maka cara untuk menyiapkan kader untuk meningkatkan kemampuannya lumayan menemui kendala. Saya hanya mendengar saja apa yang ia ceritakan. Dari relasi sosial yang ia lakukan dan alami ternyata ia termasuk aktivis yang cerdas interpersonalnya. Bagaimana ia menjalin hubungan dengan polisi, media massa, kalangan DPRD, dan dinas terkait. Menurut saya lumayan bagus. Bila dilihat dari tingkat usia dan jam terbangnya.
Yang menarik ketika ia menceritakan masa-masa ia memulai kuliah. Dengan nekad dan semangat menuntut ilmu ia mendaftar sebagai mahasiswa walau hanya berbekal Rp 75.000,00. waktu itu masih cukup untuk mendaftar. Setelah itu sudah tidak punya apa-apa lagi. Untuk menyambung hidup selanjutnya ia berfikir untuk bergantian makan di rumah teman-temannya secara bergilir. Dan itu dilakukannya selama satu minggu.
Mengingat masa lalunya yang seperti itu, ia tidak tega bila disambati oleh yuniornya. Maka ketika ada teman atau yuniornya meminta bantuan ia berusaha mencarikan jalan keluarnya. Pernah suatu ketika ada teman yang hampir putus asa mengerjakan skripsinya. Dengan kemampuan yang ada, ia sediakan tempat dan waktu membantu mengerjakan. Begitu juga ketika ada mahasiswa baru yang kehabisan bekal, ia tampung di salah kamar tempat ia tinggal. Sambil dicarikan solusi pekerjaan selanjutnya. Tentu saja sementara waktu ia juga menanggung biaya makannya.
Terus ia juga menceritakan program organisasinya untuk mengumpulkan pakaian layak pakai guna disumbangkan kepada orang miskin. Dari usaha dari berbagai instansi, ada instansi yang mengirimkan 4 dus besar berisi pakaian. Selesai pengirim pulang, ada salah satu tetangga sekretariat organisasinya yang tahu dan diberi kesempatan untuk memilih pakaian yang pantas. Dengan senang hati ia memilih, mengambil dan membawa pulang. Tidak berselang lama lima menit kemudian datanglah dua puluh orang tetangga lainnya juga ingin mendapatkan jatah.
Dari cerita di atas ternyata untuk memberi kepada orang lain tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu. Ada pikiran berupa solusi bagi teman yang memerlukan pemecahan masalah, lalu sedikit barang yang juga bisa berguna untuk membuat orang lain tersenyum berupa pakaian layak pakai. Atau juga bantuan tenaga dan pikiran untuk membantu teman yang kesulitan mengerjakan tugas perkuliahan. Bila hal itu disadari dan dilakukan untuk mengharap ridhaNya maka bisa saja hal tersebut dicatat sebagai amal shaleh. Bukankah ada motto dzikir, fikir dan amal shaleh. Jadi sebagai mahasiswa dan sebagai anggota masyarakat senantiasa ingat akan tujuan ia diciptakan dengan berdzikir lalu berfikir apa yang bisa dilakukan untuk kemaslahatan dan dari hasil olah pikir tersebut diimplementasikan dalam amal perbuatan yang dinamakan amal shaleh.
Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar