Selama ini saya tidak
tahu, hanya memendam di dalam hati. Ada tetangga ngebong boto (bahasa Jawa) -membakar
bata yang terbuat dari tanah. Di dekat pembakaran, ada lidi ditancapkan pada
tanah dan ujungnya ditaruh cabe merah.
Begitu juga ada orang
membangun rumah, di kayu teratas di bawah genteng ada bendera merah putih yang
dilipat. Begitu juga ditambahi buah kelapa di depan rumah. Ini terjadi juga
ketika orang mantu, orang hajatan menikahkan putra-putrinya.
Ketika membaca penjelasan
KH. Ali Mustofa Ya’kub (alm), guru besar hadith, rais syuriyah PBNU 2011-2015
bahwa ada doa selain dengan kata-kata, baik bahasa Arab maupun non Arab. Yakni doa
dengan simbol. Dan ini tidak ada masalah. Ada dalilnya.
Jadi benar, apa yang
dilakukan para wali songo -penyebar Islam di tanah Jawa. Hingga dakwahnya
menyebar ke nusantara bahwa terjadinya akulturasi budaya dalam Islam adalah hal
benar dan dibenarkan. Bukan mengada-ada, bidngah. O, tidak.
Penjelasannya sebagai
berikut. Orang membakar bata diberi sunduk cabe adalah simbol doa berharap
kepada Allah agar bata yang dibakar nantinya menjadi merah seperti cabe. Ada sunduk
menjulang ke atas seperti doa yang dipanjatkan kepada Allah. Dan memang yang
diharapkan adalah bata merah branang. Ini bata nomor satu. Harganya nomor
wahid.
Lalu ada orang hajatan
atau mendirikan rumah -di depan rumah dipasang buah kelapa- adalah juga doa. Doa
agar tujuan hajatan dan mendirikan rumah bisa bermanfaat dunia akhirat. Seperti
buah kelapa yang senantiasa memberikan kemanfaatan kepada siapa saja.
Orang meninggal dibacakan
khataman Alquran, dibacakan tahlil baik 1-7 hari, 40 harian, 100 harian, pendak
1 (haul 1), pendak 2 (haul ke 2), 1000 hari (haul ke-3), tingkeban (berdoa
dikala 4 bulan hamil), brokohan (sedekah pasca melahirkan baik bayi maupun sapi),
wiwit (sedekah menjelang panen padi), nyadran -bersih desa diisi dengan
pengajian, khataman Alquran, kirim doa tahlil kepada para leluhur menjelang
akad nikah sang putra-putri dan lainnya. Semuanya adalah proses dakwah yang
sangat elegan sehingga bisa diterima masyarakat.
Memasuki budaya lokal
diisi dengan bacaan kalimat tayyibah sebagai ikhtiar juga untuk proses
pembiasaan. Ketika datang di tahlilan maka sedikit banyak bibirnya membaca
kalimat yang baik. Berkumpul dengan tetangga menjadi komunitas yang saling mengenal. Bertemu dengan kiai dan
orang saleh maka hati bisa menjadi tenang dan tenteram. Karena ada siraman
kalbu.
Apa yang dilakukan para
wali songo bukan tanpa sebab dan asal maton. Pastilah ini dilakukan dengan
perenungan yang panjang. Karena para wali songo itu bukan penduduk asli
nusantara. Menurut sumber sejarah adalah para ulama utusan kerajaan Turki
Utsmani untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Ternyata dakwah dengan
simbol, dakwah dengan akulturasi budaya lebih mengena dan diterima masyarakat. Bisa
dilihat sekarang ini, Indonesia dengan dakwah ala wali songo –ala Islam
Nusantara menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di
muka bumi.
Pahamnya yang moderat
menjadi rujukan banyak bangsa. Selamat harlah Nahdlatul Ulama ke-93. Semoga semakin
dirasakan manfaatnya bagi Indonesia dan dunia. Wallahul a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar