Rabu, 04 Mei 2016

Doa Dengan Simbol

Selama ini saya tidak tahu, hanya memendam di dalam hati. Ada tetangga ngebong boto (bahasa Jawa) -membakar bata yang terbuat dari tanah. Di dekat pembakaran, ada lidi ditancapkan pada tanah dan ujungnya ditaruh cabe merah.
Begitu juga ada orang membangun rumah, di kayu teratas di bawah genteng ada bendera merah putih yang dilipat. Begitu juga ditambahi buah kelapa di depan rumah. Ini terjadi juga ketika orang mantu, orang hajatan menikahkan putra-putrinya.
Ketika membaca penjelasan KH. Ali Mustofa Ya’kub (alm), guru besar hadith, rais syuriyah PBNU 2011-2015 bahwa ada doa selain dengan kata-kata, baik bahasa Arab maupun non Arab. Yakni doa dengan simbol. Dan ini tidak ada masalah. Ada dalilnya.
Jadi benar, apa yang dilakukan para wali songo -penyebar Islam di tanah Jawa. Hingga dakwahnya menyebar ke nusantara bahwa terjadinya akulturasi budaya dalam Islam adalah hal benar dan dibenarkan. Bukan mengada-ada, bidngah. O, tidak.
Penjelasannya sebagai berikut. Orang membakar bata diberi sunduk cabe adalah simbol doa berharap kepada Allah agar bata yang dibakar nantinya menjadi merah seperti cabe. Ada sunduk menjulang ke atas seperti doa yang dipanjatkan kepada Allah. Dan memang yang diharapkan adalah bata merah branang. Ini bata nomor satu. Harganya nomor wahid.
Lalu ada orang hajatan atau mendirikan rumah -di depan rumah dipasang buah kelapa- adalah juga doa. Doa agar tujuan hajatan dan mendirikan rumah bisa bermanfaat dunia akhirat. Seperti buah kelapa yang senantiasa memberikan kemanfaatan kepada siapa saja.
Orang meninggal dibacakan khataman Alquran, dibacakan tahlil baik 1-7 hari, 40 harian, 100 harian, pendak 1 (haul 1), pendak 2 (haul ke 2), 1000 hari (haul ke-3), tingkeban (berdoa dikala 4 bulan hamil), brokohan (sedekah pasca melahirkan baik bayi maupun sapi), wiwit (sedekah menjelang panen padi), nyadran -bersih desa diisi dengan pengajian, khataman Alquran, kirim doa tahlil kepada para leluhur menjelang akad nikah sang putra-putri dan lainnya. Semuanya adalah proses dakwah yang sangat elegan sehingga bisa diterima masyarakat.
Memasuki budaya lokal diisi dengan bacaan kalimat tayyibah sebagai ikhtiar juga untuk proses pembiasaan. Ketika datang di tahlilan maka sedikit banyak bibirnya membaca kalimat yang baik. Berkumpul dengan tetangga menjadi komunitas  yang saling mengenal. Bertemu dengan kiai dan orang saleh maka hati bisa menjadi tenang dan tenteram. Karena ada siraman kalbu.
Apa yang dilakukan para wali songo bukan tanpa sebab dan asal maton. Pastilah ini dilakukan dengan perenungan yang panjang. Karena para wali songo itu bukan penduduk asli nusantara. Menurut sumber sejarah adalah para ulama utusan kerajaan Turki Utsmani untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Ternyata dakwah dengan simbol, dakwah dengan akulturasi budaya lebih mengena dan diterima masyarakat. Bisa dilihat sekarang ini, Indonesia dengan dakwah ala wali songo –ala Islam Nusantara menjadikan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di muka bumi.

Pahamnya yang moderat menjadi rujukan banyak bangsa. Selamat harlah Nahdlatul Ulama ke-93. Semoga semakin dirasakan manfaatnya bagi Indonesia dan dunia. Wallahul a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar