Jumat, 14 Agustus 2015

Ceramah yang Menarik

Pada hari Rabu (12/8/2015) saya menyaksikan pembukaan sebuah acara diklat di Surabaya. Sang pemimpin lembaga dari segi karier terbilang moncer. Dari latar belakang pendidikan juga tidak kalah dengan bawahannya karena strata tertinggi dari bangku kuliah. Juga bahasa pondok pesantrennya juga kental. Kelihatan ia santri yang mengenyam pendidikan formal tinggi dan mengemban sebuah amanah manajer sebuah lembaga yang besar dengan para anggota yang juga berpendidikan formal rata-rata magister.
Dari selama ini bila pejabat berpidato “datar-datar” saja intonasinya. Begitu juga informasi yang diberikan hampir sama dengan audiens dalam arti hal yang sudah familier didengar. Menarik bila menyimak dari uraian yang diberikan. Seperti orator kenamaan dengan tidak lupa menyampaikan prestasi satu persatu yang telah diraih para bawahannya yang disebut sebagai sahabatnya. Ini secara tidak langsung menunjukkan prestasi lembaga yang ia pimpin.
Tak lupa disela-sela ceramahnya menampilkan joke-joke segar, bahkan juga tak lupa bisa menyanyikan sebuah lagu. Karakter menarik ini jarang dimiliki oleh kalangan akademis. Bagi kalangan akademis suasana hening, datar, kering, kurang segar memang sangat identik dengan muka-muka para pakar. Namun juga tidak salah bila ceramah ilmiah juga dihiasi dengan bahasa-bahasa segar nan menarik perhatian sehingga apa yang disampaikan bisa “mengena” bagi pendengarnya.
Pembawaan di atas hampir dipunyai oleh kiai-kiai Nahdlatul Ulama. Bahkan ada yang menggelitik dari saudara kita “Apa ceramahnya kiai harus bisa joke dan diajarkan sebagai kurikulum pesantren”?. Seingat saya ada pembiasaan khitobah bagi para santri pada waktu-waktu yang telah ditentukan misalnya malam Jumat. Dan ini berlaku bagi semua santri dan biasanya santri untuk belajar berpidato bergilir mewakili kelas masing-masing. Memang waktu itu belum terlihat akan menjadi seorang orator kelak. Adanya santri kemudian pulang ke masyarakat lalu menjadi mubalig dan mempunyai gaya nyentrik dalam menjelaskan materi itu adalah pengayaan yang dibuat. Dan “gaya” masing-masing mubaligh memang berbeda-beda.

Yang menarik dari acara kemarin adalah audien tidak mengantuk bahkan bisa ger-geran berkali-kali dengan aksi spontan yang dilakukan. Misalnya mengetok palu dengan keras sebagai tanda dimulainya acara dengan terlebih dahulu menjungkirkan mikrofon. Dan juga sifat egaliter yang spontan dengan menyalami peserta di jalan yang dilaluinya. Very enjoy sambutannya. Dialah Dr. H. Mochamad Toha, M.Si., Kepala BDK Surabaya. Wallahu a’lam bi al shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar