Pada
hari Rabu (12/8/2015) saya menyaksikan pembukaan sebuah acara diklat di
Surabaya. Sang pemimpin lembaga dari segi karier terbilang moncer. Dari latar
belakang pendidikan juga tidak kalah dengan bawahannya karena strata tertinggi
dari bangku kuliah. Juga bahasa pondok pesantrennya juga kental. Kelihatan ia
santri yang mengenyam pendidikan formal tinggi dan mengemban sebuah amanah
manajer sebuah lembaga yang besar dengan para anggota yang juga berpendidikan
formal rata-rata magister.
Dari
selama ini bila pejabat berpidato “datar-datar” saja intonasinya. Begitu juga
informasi yang diberikan hampir sama dengan audiens dalam arti hal yang sudah
familier didengar. Menarik bila menyimak dari uraian yang diberikan. Seperti
orator kenamaan dengan tidak lupa menyampaikan prestasi satu persatu yang telah
diraih para bawahannya yang disebut sebagai sahabatnya. Ini secara tidak
langsung menunjukkan prestasi lembaga yang ia pimpin.
Tak
lupa disela-sela ceramahnya menampilkan joke-joke segar, bahkan juga tak lupa bisa
menyanyikan sebuah lagu. Karakter menarik ini jarang dimiliki oleh kalangan
akademis. Bagi kalangan akademis suasana hening, datar, kering, kurang segar
memang sangat identik dengan muka-muka para pakar. Namun juga tidak salah bila
ceramah ilmiah juga dihiasi dengan bahasa-bahasa segar nan menarik perhatian
sehingga apa yang disampaikan bisa “mengena” bagi pendengarnya.
Pembawaan
di atas hampir dipunyai oleh kiai-kiai Nahdlatul Ulama. Bahkan ada yang
menggelitik dari saudara kita “Apa ceramahnya kiai harus bisa joke dan
diajarkan sebagai kurikulum pesantren”?. Seingat saya ada pembiasaan khitobah
bagi para santri pada waktu-waktu yang telah ditentukan misalnya malam Jumat.
Dan ini berlaku bagi semua santri dan biasanya santri untuk belajar berpidato
bergilir mewakili kelas masing-masing. Memang waktu itu belum terlihat akan
menjadi seorang orator kelak. Adanya santri kemudian pulang ke masyarakat lalu
menjadi mubalig dan mempunyai gaya nyentrik dalam menjelaskan materi itu adalah
pengayaan yang dibuat. Dan “gaya” masing-masing mubaligh memang berbeda-beda.
Yang
menarik dari acara kemarin adalah audien tidak mengantuk bahkan bisa ger-geran
berkali-kali dengan aksi spontan yang dilakukan. Misalnya mengetok palu dengan
keras sebagai tanda dimulainya acara dengan terlebih dahulu menjungkirkan
mikrofon. Dan juga sifat egaliter yang spontan dengan menyalami peserta di
jalan yang dilaluinya. Very enjoy sambutannya. Dialah Dr. H. Mochamad Toha,
M.Si., Kepala BDK Surabaya. Wallahu a’lam bi al shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar