Senin, 22 Juni 2015

Kematangan Emosi

Ada yang menarik dari tulisan jean pieget. Dia mengungkapkan lima pilar kematangan emosi. Dan ini sesuai dengan pelaksanaan puasa yang kita lakukan.
Jean Pieget, pria berkebangsaan Swiss (1896-1980) tokoh psikologi perkembangan memaparkan lima hal  yakni mampu menerima kenyataan, sabar, jiwa humor, menerima tanggungjawab, dan menghargai orang lain.
Apa yang kita terima hari ini mari tetap disyukuri. Bisa saja ini yang terbaik. Angan-angan yang tidak sesuai kenyataan itu harapan. Tuhan telah memilihkan yang terbaik. Bila belum puas perlu berusaha lagi. Bila menyalahkan orang lain semua orang bisa. Namun ini hal yang kurang baik. Semuanya dari kita sendiri.
Imam Ghozali membagi sabar dalam beberapa segi. Sabar melaksanakan ibadah, sabar dalam menghindari maksiyat, sabar menghadapi sesuatu yang tidak disenangi.
Ibadah puasa terkadang terasa berat. Selama 11 bulan bebas makan dan minum namun ada satu bulan yang harus berpuasa. Bila di dalam hati tidak ada iman dan kesadaran mungkin saja tidak akan puasa. Apalagi bagi pekerja berat. Buruh tani, manol di pasar dan toko bangunan, sopir, kenek, pasukan kuning, tukang becak, dan konco-konconya.
Namun oleh karena perintah tuhan tetap berusaha dilaksanakan. Sekedar berpuasa menghindari makan, minum, menjauhi berhubungan suami isteri adalah berat bagi mereka. Belum lagi godaan dari lingkungannya. Inilah hal yang luar biasa. Salut bagi mereka yang masih tetap berpuasa.
Maksiyat sederhananya melanggar aturan agama. Diberi mata tidak digunakan untuk membaca alquran. Malah melihat yang lain. Kaki tidak digunakan untuk bekerja, melangkah ke masjid, atau menolong orang namun digunakan hal-hal yang tidak berguna. dan masih banyak contoh yang lain.
Dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi memang berat. Sakit, ada keluarga yang meninggal, dompet kosong terkadang menjadi hal yang menyesakkan dada. Namun disadari hal ini harus tetap dihadapi. Bila tetap tegar dan terus melangkah maka akan mendapat kemenangan.
Jiwa humor seperti yang dimiliki Gus Dur dan para kiai ternyata sebagai petunjuk kematangan emosi. Sesuatu yang rumit bisa diselesaikan dengan hal yang sederhana. Persoalan gawat bisa diurai menjadi bahasa yang sederhana. Tidak ada yang dikorbankan, semua menjadi teman. Itulah keberhasilan para kiai yang mempunyai jiwa humor.
Menjadi pribadi tidak mempunyai tanggungan berlebih. Namun dalam pribadi ada tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan komunitas tertentu. Hal ini menuntut tanggungjawab. Lalu melaksanakan tanggungjawab dari semuanya itulah yang luar biasa.
“orang lain punya kelebihan”, demikian petuah orang tua. Kita perlu menghargai bahwa setiap orang mempunyai kelebihan sendiri. Si a jago managemen keuangan keluarga, si b anak-anaknya berprestasi, si c kariernya selalu menanjak. Sedangkan kita semuanya serba pas-pasan. Disyukuri saja. Tidak mungkin kita meniru seseorang. Namun dari apa yang ada dari kita bisa kita optimalkan. Sehingga kita menjadi diri kita sendiri. Wallahu a’lam bi alshawab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar