Israk mikraj terjadi pada
tahun kesepuluh dari kenabian. Dilakukan dengan jasad dan ruh. Bila ada yang
mengatakan dengan ruh saja berarti dalam hal mimpi. Katanya hal ini berdasar
atas cerita Ibu Aisyah yang melihat Nabi sedang tidur pada waktu malam waktu
terjadinya peristiwa Israk mikraj.
Hal ini bisa dilihat dari
awal mula cerita. Israk mikraj sebagai hadiah Allah atau pelipur duka Kanjeng
Nabi setelah ditinggal wafat oleh Ibu Khadijah dan pamandanya Abu Thalib. Jadi
waktu itu belum menikah dengan Ibu Aisyah. Dengan ini berarti cerita ini tidak
pas.
Pada harlah rajabiyah ini
yang bisa diambil hikmahnya adalah anjuran melaksanakan salat fardu lima kali
sehari dengan berjamaah. Dalam pelaksanaannya ada hal yang perlu diketahui:
Bila tiba di masjid sudah
ketinggalan salat isak. Bahkan sudah jamaah tarawih. Bagaimana salat isaknya?
Mengenai hal ini dianjurkan untuk melaksanakan salat isak mengikuti jamaah
salat tarawih. Hal ini diperbolehkan mengingat yang diikuti adalah salat yang
sama gerakannya. Bila salat fardu mengikuti jamaah salat gerhana dan salat
jenazah/gaib ini yang tidak sah karena gerakannya sudah berbeda.
Imam salat mendengar ada
jamaah yang baru datang bagaimana sebaiknya yang dilakukan imam? Bila
menghadapi hal ini imam sebaiknya memanjangkan bacaan. Tidak lantas mempercepat
salat. Bila misalnya sudah selesai satu surat bakda fatihah mendengar langkah
kaki jamaah yang baru datang maka imam dianjurkan untuk menambah bacaan satu
surat lagi sehingga jamaah yang baru datang tidak menjadi makmum masbuk.
Imam adalah pemimpin. Apa
yang dilakukan imam sebelum memulai takbiratul ihram? Dianjurkan kepada imam
salat untuk menata barisan/saf. Mengontrol jamaah agar satu barisan lurus tanpa
renggang. Bila ada anak kecil yang berpotensi gaduh sebaiknya diletakkan agak
kebelakang. Sehingga bila menangis atau ramai dampaknya tidak terlalu fatal.
Sebaiknya imam menata agar ada jamaah yang mempunyai ilmu agama cukup untuk
berada di belakang imam. Dengan asumsi bila imam ada halangan mendadak bisa
langsung mengganti. Sehingga tidak rusak salat jamaah. Ini adalah langkah
antisipasi untuk menghadapi hal-hal yang tidak diprediksi sebelumnya.
Bagaimana bila ada jamaah
yang ambruk/pingsan ketika salat? Apa yang harus dilakukan? Hal ini bisa saja
terjadi. Ada kejadian di masjid tetangga desa. Waktu itu salat jamaah subuh.
Tiba-tiba ada seorang makmum yang jatuh ketika posisi berdiri dan selanjutnya
beliau meninggal. Agar tidak rusak jamaah seluruhnya maka salah seorang atau
dua orang membatalkan salatnya untuk mengurus yang jatuh tadi. Jamaah yang lain
tetap saja meneruskan salatnya. Ini juga berlaku misalnya ada anak yang
menangis ketika berlangsung salat jamaah. Sebaiknya si ibu atau salah satu yang
mengurus si kecil ini dengan membatalkan salatnya daripada seisi masjid terganggu
dengan tangisannya. Langkah ini sesuai dengan kaidah mendahulukan resiko yang
teringan.
Bila imam kurang satu
rakaat. Apa yang dilakukan? Bila mengetahui imam sudah selesai tahiyat akhir
dan diyakini kurang satu rakaat makmum wajib memberitahu imam bahwa salatnya
kurang. Lalu tanpa melakukan sesuatu yang lain imam langsung memimpin salat untuk menambah kekurangan satu
rakaat tadi dengan diikuti makmum.
Bila imam salat berdiri
lagi mau menambah satu rakaaat padahal sudah cukup apa yang harus dilakukan?
Bila masih setengah berdiri ada jamaah yang membaca subhanallah maka imam duduk
kembali lalu salam. Namun bila imam sudah berdiri penuh maka imam wajib
meneruskan satu rakaat. Jamaah tetap pada posisi duduk. Lalu salam bersama
dengan imam.
Imam tertidur waktu
tahiyat akhir apa yang harus dilakukan? Bila imam setelah lama ditunggu tidak
juga mengucapkan salam berarti yang bersangkutan tertidur. Hal ini menyebabkan
salat rusak. Untuk menghindarinya jamaah niat mufaraqah/ memisahkan diri dari
jamaah lalu mengucapkan salam. Wallahu a’lam bi al shawab.
(disarikan dari pengajian
Senin Kliwon di Masjid Baitul Atqiya’ Pisang yang diasuh oleh Drs. K. Imam
Masyhadi pada hari Ahad, 25 Mei 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar