Minggu, 18 Mei 2014

Musala Pribadi



Kita patut bersyukur tinggal di negeri ini, Indonesia. Banyak ragam budaya, adat, tradisi, suku, dialek, bahasa, agama, ribuan pulau, kaya akan bahan tambang, dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, beriklim tropis sehingga hanya mengenal dua musim. Organisasi masyarakat tumbuh berkembang dengaan baik dan masih banyak yang masih moderat. Dan masih banyak kelebihan negeri kita  yang lain.
Dengan adanya ormas yang moderat alhamdulillah terhindar dari perang saudara, perebutan kekuasaan yang menumpahkan darah. Banyak jatuh korban sipil yang sia-sia. Bila kita tengok di negara-negara Timur Tengah ada yang ingin mempertahankan kekuasaan namun harus berperang dengan rakyatnya. Namun di Indonesia alhamdulillah tidak. Ketika Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan, banyak pendukung yang bersiap sedia dibelakangnya apapun yang diperintahkan. Namun demi menjaga menghindari pertumpahan darah sesama anak bangsa, beliau melepaskan kesempatan itu semua. Inilah bentuk kenegaraan sejati. Hal ini dilatarbelakangi kesempurnaan beliau dalam memahami hubungan antara kemanusiaan, kenegaraan, dan keislaman. Sehingga banyak cendikiawan yang menyebut beliau sebagai multi talenta, serba bisa. Dan tentu saja inilah produk pondok pesantren salafiah.
Dalam hal keberagamaan banyak sekali kita jumpai tempat ibadah. Baik itu masjid dan juga musala, tempat untuk salat. Dalam pengertian yang sederhana masjid tempat untuk salat berjamaah lima waktu, salat berjamaah jumat dan salat hari raya. Sedang musala biasanya untuk salat berjamaah lima waktu saja. Namun keduanya tidak menutup kemungkinan untuk kegiatan sosial dan dakwah.
Mengenai jenis musala ada dua jenis yang saya ketahui. Yakni musala umum/wakaf dan musala pribadi. Perbedaannya terletak atas pemanfaatan. Dalam arti ketika digunakan untuk beribadah. Musala umum/wakaf orang lain bisa menggunakan untuk salat kapan saja tanpa harus meminta ijin terlebih dahulu. Namun untuk musala pribadi kegiatan ibadah baru dinilai sah apabila sudah memperoleh ijin dari pemiliknya. Jadi untuk wudu, mandi, dan salat didalamnya harus ijin dulu. Bila tidak memperoleh ijin maka ibadah yang dilaksanakan sia-sia.
Lalu adakah solusi untuk bisa memanfaatkan musala pribadi untuk salat warga sekitar atau musafir? Jawabannya ada dan bisa. Bisa salah seorang warga yang meminta ijin kepada pemilik untuk bisa memanfaatkan musala untuk keperluan wudu, listrik, mandi untuk persiapan salat sewaktu-waktu bagi semua orang. Bila sudah ijin maka selesailah masalah.
Memang ada pemilik musala yang mempermasalahkan hal ini. Mungkin dilatarbelakangi kurangnya pemahaman masalah wakaf. Sehingga ketika melihat hal ini warga sekitar enggan untuk ikut membantu membangun atau memperbaiki musala. Mau membantu namun sebatas yang bisa dipindah. Misalnya ikut membantu membayar listrik bulanan. Bila membelis sesuatu untuk musala sebatas yang bisa dipindah. Contoh pompa air, tikar, sound. Sehingga bila pemilik musala berubah pikiran misalnya akan merobohkan musala atau hal lain barang-barang tersebut bisa diambil.
Permasalahan seperti diatas bisa saja terjadi di sekitar kita. Solusi yang memberi pengayoman, menentramkan sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan bergulirnya waktu semoga kita semakin dewasa dalam menyikapi permasalahan. Sehingga membawa kedamaian dan kesejukan dalam beribadah. Wallahu a’lam bi alshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar