Kita patut bersyukur
tinggal di negeri ini, Indonesia. Banyak ragam budaya, adat, tradisi, suku,
dialek, bahasa, agama, ribuan pulau, kaya akan bahan tambang, dijuluki sebagai
zamrud khatulistiwa, beriklim tropis sehingga hanya mengenal dua musim.
Organisasi masyarakat tumbuh berkembang dengaan baik dan masih banyak yang
masih moderat. Dan masih banyak kelebihan negeri kita yang lain.
Dengan adanya ormas yang
moderat alhamdulillah terhindar dari perang saudara, perebutan kekuasaan yang
menumpahkan darah. Banyak jatuh korban sipil yang sia-sia. Bila kita tengok di
negara-negara Timur Tengah ada yang ingin mempertahankan kekuasaan namun harus
berperang dengan rakyatnya. Namun di Indonesia alhamdulillah tidak. Ketika Gus
Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan, banyak pendukung yang bersiap sedia
dibelakangnya apapun yang diperintahkan. Namun demi menjaga menghindari
pertumpahan darah sesama anak bangsa, beliau melepaskan kesempatan itu semua. Inilah
bentuk kenegaraan sejati. Hal ini dilatarbelakangi kesempurnaan beliau dalam memahami
hubungan antara kemanusiaan, kenegaraan, dan keislaman. Sehingga banyak
cendikiawan yang menyebut beliau sebagai multi talenta, serba bisa. Dan tentu
saja inilah produk pondok pesantren salafiah.
Dalam hal keberagamaan
banyak sekali kita jumpai tempat ibadah. Baik itu masjid dan juga musala,
tempat untuk salat. Dalam pengertian yang sederhana masjid tempat untuk salat
berjamaah lima waktu, salat berjamaah jumat dan salat hari raya. Sedang musala
biasanya untuk salat berjamaah lima waktu saja. Namun keduanya tidak menutup
kemungkinan untuk kegiatan sosial dan dakwah.
Mengenai jenis musala ada
dua jenis yang saya ketahui. Yakni musala umum/wakaf dan musala pribadi. Perbedaannya
terletak atas pemanfaatan. Dalam arti ketika digunakan untuk beribadah. Musala umum/wakaf
orang lain bisa menggunakan untuk salat kapan saja tanpa harus meminta ijin
terlebih dahulu. Namun untuk musala pribadi kegiatan ibadah baru dinilai sah
apabila sudah memperoleh ijin dari pemiliknya. Jadi untuk wudu, mandi, dan salat
didalamnya harus ijin dulu. Bila tidak memperoleh ijin maka ibadah yang
dilaksanakan sia-sia.
Lalu adakah solusi untuk
bisa memanfaatkan musala pribadi untuk salat warga sekitar atau musafir? Jawabannya
ada dan bisa. Bisa salah seorang warga yang meminta ijin kepada pemilik untuk
bisa memanfaatkan musala untuk keperluan wudu, listrik, mandi untuk persiapan
salat sewaktu-waktu bagi semua orang. Bila sudah ijin maka selesailah masalah.
Memang ada pemilik musala
yang mempermasalahkan hal ini. Mungkin dilatarbelakangi kurangnya pemahaman
masalah wakaf. Sehingga ketika melihat hal ini warga sekitar enggan untuk ikut
membantu membangun atau memperbaiki musala. Mau membantu namun sebatas yang
bisa dipindah. Misalnya ikut membantu membayar listrik bulanan. Bila membelis
sesuatu untuk musala sebatas yang bisa dipindah. Contoh pompa air, tikar,
sound. Sehingga bila pemilik musala berubah pikiran misalnya akan merobohkan
musala atau hal lain barang-barang tersebut bisa diambil.
Permasalahan seperti
diatas bisa saja terjadi di sekitar kita. Solusi yang memberi pengayoman,
menentramkan sangat diperlukan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan
bergulirnya waktu semoga kita semakin dewasa dalam menyikapi permasalahan. Sehingga
membawa kedamaian dan kesejukan dalam beribadah. Wallahu a’lam bi alshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar